Bali dirundung masalah lantaran
banyaknya pelaku usaha periklanan asing freelancer yang tak berizin. Hampir 50 persen bisnis
periklanan mereka kuasai padahal kueanya hanya 1 persen saja dari belanja iklan
nasional.
Data itu dilontarkan Ketua Pengurus Daerah (Pengda) PPPI Bali, Roy Guritno Wicaksono, Selasa (15/2) dalam
pertemuan menjelang Musyawarah Kerja Nasional PPPI di Denpasar. “Kue iklan di Bali kurang dari 1 trilyun,” ujarnya.
Geliat sektor pariwisata, kata dia, membuat belanja iklan pariwisata tumbuh secara signifikan. Namun yang memprihatinkan ternyata sebagian iklan industri ini justru diambil oleh freelancer yang tak berizin. "Kita perkirakan market share perusahaan periklanan lokal dangan freelance hampir berimbang 60:40," katanya.
Manajemen hotel atau vila yang menggunakan manajemen atau pemilik asing, menurutnya, lebih suka menggunakan jasa mereka. "Mungkin ini masalah warna kulit dan rambut, mereka (pemasang iklan) lebih nyaman dengan sesama yang orang asing pula," sebutnya. Persoalan yang harus diangkat, menurutnya, para freelancer itu ini tidak mentaati aturan yang ada. "Kami menduga mereka juga tidak membayar pajak,” tegasnya.
Menanggapi
masalah itu, Managing Director Darmawan
& Associates Yoke Darmawan yang sering menggunakan jasa freelancer mengajak para praktisi periklanan lokal
meningkatkan kapasitas dan daya saing.
"Iklan bukan hanya design, tapi juga soal konten, ekspektasi pasar dan
proses yang matang," kata Yoke yang perusahaannya menjadi konsultan public
relation dan marketing communication sejumlah hotelitu.
Ia setuju untuk dilakukan penertiban dan menilai desainer lokal tidak kalah bagus dengan desainer asing. Namun ketika berhadapan dengan penjadwalan pekerjaan, pihak lokal umumnya kurang berdisiplin. Soal ketepatan selera juga menjadi pertimbangan para klien karena kebanyakan para pemilik properti di Bali yang orang asing juga. ROFIQI HASAN
No comments:
Post a Comment