Dec 25, 2011

Membangkitkan Pamor Kamasan

Mangku Muryati, 45, tekun membuat sketsa.Komposisi rumit di atas kain blacu. menggambarkan kisah pertempuran tokoh-tokoh wayang Kurusetra. Hasilnya nanti adalah lukisan gaya Kamasan berukuran 2 x 1,5 meter. Paling tidak dia membutuhkan waktu selama 6 bulan untuk menyelesaikan lukisan itu. Mulai dari tahap mensket hingga mewarnainya.



Pelukis perempuan itu adalah satu diantara puluhan pelukis gaya klasik Kamasan Bali yang kini bergairah kembali. Setelah beberapa tahun terakhir merasakan kelesuan karena rendahnya minat untuk membeli lukisan mereka, kini secercah harapan muncul. Yakni setelah maestro pelukis Nyoman Gunarsa menjanjikan sebuah pameran besar pada bulan Juni 2012 nanti. Pameran bertajuk “Bali Bangun” itu akan mengundang para kolektor terkemuka serta kritikus seni rupa.



Namun sebelum pameran dimulai, Gunarsa melakukan semacam kompetisi diantara pelukis. Mereka ditantang membuat karya terbaru dan terbaik yang layak disebut masterpiece. “Hanya yang memenuhi kriteria yang ditampilkan,” katanya, Senin (12/11). Ia akan menjadi Dewan Juri bersama Agus Darmawan T, AA Gede Rai, Pande Suteja Neka, Profesor Dwi Maryanto, Kun Adnyana dan Putu Wirata Dwikora.



Tujuannya kompetisi dan pameran itu, menurutnya, agar para pelukis yang turun temurun melestarikan kekayaan budaya itu mendapat tempat yang sama dengan para perupa kontemporer seperti Affandi, Sujoyono dan pelukis besar lainnya. “Mereka berhak karena kualitas keindahannya memang luar biasa,” katanya. Selama ini karya mereka belum pernah dipromosikan dan akhirnya hanya dipajang di toko kaki lima atau di pasar Sukawati.



Festival akan dilangsungkan di museum Gunarsa, Banjar Banda, Klungkung. Untuk itu Gunarsa bekerjasama dengan Siobhan Campbell, seorang peneliti dari University of Sydney, Australia yang khusus mengkaji mengenai senirupa klasik Bali di desa Kamasan, Klungkung. Untuk kegiatan tersebut Gunarsa sudah membangun sebuah open stage yang dilengkapi ruang pameran. Open stage bakal digunakan untuk menggelar festival gong kebyar yang melibatkan peserta dari mancanegara seperti Jepang dan Los Angeles, USA. Waktunya bersamaan dengan festival seni rupa.



Sementara itu Siobhan menyatakan, dirinya merasa bahagia karena bisa bertemu tokoh dan seniman besar di desa Kamasan. Ia juga banyak mendapat infromasi langsung dari salah-satu tokoh terkemuka Mangku Mura , warga banjar Siku, Kamasan. “Desa ini merupakan satu satunya tempat pelestarian lukisan klasik dengan jumlah yang cukup banyak,” ujarnya. Ia juga berencana untuk membuat pameran keliling karya-karya yang dipamerkan di festival.



Perkenalanya dengan lukisan Kamasan berawal ketika melihat sebuah lukisan di Museum di Sydney yang terasa agak aneh namun sangat menarik.Lukisan itu adalah milik peneliti Australia Anthony Forge yang pada tahun 1970-an pernah tinggal di Kamasan. Pihak Museum saat ini berencana untuk membuka ruangan khusus untuk koleksi karya itu dan memintanya agar melakukan penelitian sehingga pengunjung nantinya mendapat informasi yang cukup mengenai lukisan Kamasan.



Saat ini, menurutnya, telah terjadi pergeseran dalam pembuatan lukisan Kamasan. Misalnya, mulai berkurangnya bahan alami seperti pere (batu laut) untuk warna kuning dan coklat. Warna merah dari bahan gincu juga banyak diganti dengan cat acrylic. Namun masih ada yang dipertahankan seperti penggunaan putih telur untuk perekat dan warna hitam dari langes (abu pembakaran). Acuan untuk disebut sebagai lukisan klasik adalah tema cerita yang berasal dari Ramayana atau Mahabaratha.



Desa Kamasan sendiri sudah menjadi pusat seni kerajinan pada abad XIV , yakni saat Bali dikuasai oleh Dalem Aji Sri Kresna Kepakisan yang merupakan wakil dari Majapahit. Kata Kamasan berasal dari Kama atau karma yang berarti hasil perbuatan dan San yang berarti indah. Dari desa ini kemudian seni klasik Bali menyebar ke Tabanan, Gianyar, Singaraja dan kota-kota lainnya di Bali.



Pengamat seni rupa Bali Pande Wayan Suteja Neka menyatakn gaya klasik kamasan adalah pelopor seni lukis klasik Bali. “Bahkan koleksi lukisan klasik gaya Kamasan bisa dietmukan di museum di San Francisco Amerika,” ujarnya. Dia berharap, Festival akan mengembalikan kebanggaan dan kecintaan kepada gaya seni rupa klasik, khususnya di kalangan anak muda. “Jangan sampai malah orang asing yang mendalami dan kita sendiri melupakannya,” ujarnya.



Sementara bagi Mangku Muryati yang merupakan putra Mangku Mura, festival itu diharapkan akan membantu seniman kecil untuk terus bertahan. “Selama ini kami merasa dilupakan,” ujarnya. Meski hampir di setiap rumah masih ada kegiatan melukis, menurutnya, aktivitas ini sulit dijadikan untuk sandaran hidup sehingga pelan-pelan banyak yang mulai melakukan alih profesi. Situasi terasa makin memburuk setelah terjadi persitiwa bom di Kuta pada 2002 dimana jumlah kunjungan turis menurun drastis dan belum juga pulih hingga saat ini. ROFIQI HASAN

No comments: