Dec 28, 2011

Budhiana Melawan Art-Shit

Di penghujung tahun, perupa Made Budhiana menampilkan pameran eksperimental. Sebuah perlawanan terhadap Ar- Shit.
                                       
                                                        
Nada-nada riang memenuhi ruang pameran Bentara Budaya Bali, Rabu (21/12). Ruangan itu masih kosong  tanpa sebuah lukisan pun. Kertas-kertas hanya dihamparkan begitu saja bersama dengan cat, kuas dan alat kebutuhan untuk melukis lainnya.  Para penonton mendapat jatah 1 kertas koran untuk duduk santai dan menikmati suasana.
Di dinding ruangan serta pada dua balon raksasa, tampak siluet menari-nari. Sejatinya itu adalah permainan kamera video yang kemudian ditayangkan kembali setelah direkayasa dalam program komputer. Jadi siluet itu adalah rekaman aktivitas di ruangan termasuk polah para pengunjungnya.
Tapi yang terus menjadi pusat perhatian tentu saja adalah perupa Made Budhiana yang menggagas pameran eksperimental itu. Ia menggabungkan komposisi musik karya Made Yudhana, videografi dan sinematografi, pentas pembacaan puisi tentu saja dengan olah kreatifnya sebagai perupa.
Malam itu Budhiana yang mashur dengan gaya lukisan abstrak itu tampak asyik melukis dengan menggunakan sebuah artefak kuno sebagai modelnya. Gambar artefak  berisi patung kuno para penari disorotkan ke dinding lalu dia mencopy atau mengkreasi ulang di selembar kertas. Selanjutnya, aneka warna ditorehkannya untuk menghasilkan image yang berbeda.
Pada tahap selanjutnya, Budhiana tampak seperti sedang bermain-main. Dia menatap tajam satu persatu para penontonnya yang ternyata kemudian dijadikannya model lukisan. Kegilaan suasana kemudian berlanjut ketika seorang penonton tiba-tiba membacakan puisi “Manusia Gilimanuk” kara Putu Fajar Arcana. Ada pula yang ikut membuat lukisan untuk kemudian direspon dan dilanjutkan oleh Budhiana.
Seluruh proses itu, menurut Budhiana, adalah bentuk protesnya terhadap situasi saat ini. “Seni dan khususnya seni rupa telah kehilangan keriangan hati,” ujarnya. Kuasa pasar telah menciptakan art-shit , sebentuk karya seni yang hanya menjadi parasit bagi dunia seni. Salah-satunya adalah munculnya para artisan yang mengandalkan proses penciptaan dengan bantuan teknologi untuk menghasilkan karya massal.
Kemunculan galeri, kolektor dan kurator baru , menurutnya, justru mengotori  wacana seni rupa  yang mestinya membersihkan hati. Ukuran-ukuran material telah menjadi acuan penting dibandingkan nilai kejujuran. Sebagian besar wacana yang dikembangkan adalah pengakuan terhadap pentingnya pasar.
Perupa kelahiran 27 Maret 1959 itu ingin menggugah para seniman untuk melihat proses berkarya sebagai ruang bermain yang bebas. Mereka dapat mengkolaborasikan berbagai kemungkinan tanpa harus peduli pada hasil akhirnya. “Ini adalah sebuah otokritik untuk membuka ruang interaksi bagi semua seniman,” ujarnya. Proses yang disebutnya sebagai seni untuk penyadaran itu akan dilangsungkan hingga 10 Januari mendatang.
Pengamat seni rupa Arif Budiman menilai, upaya Budhiana merupakan upaya yang menarik. “Sangat jarang perupa yang sudah mapan berani melakukan hal ini,” ujarnya. Sebagian besar dari mereka memilih berada di menara gading agar kematian daya kreatif mereka tak diketahui banyak orang. Sementara karya-karya lama mereka terus disanjung sebagai acuan untuk menilai seniman-seniman yang lebih baru.
Namun Arif menilai, acara yang disebutnya sebagai pameran proses itu belum direncanakan cukup matang. Masing-masing seniman masih berproses sesuai dengan medianya masing-masing. Budhiana tetap menjadi poros pertunjukan sehingga seolah-olah hanya memindahkan studionya ke ruang pameran. Penonton tidka dirangsang untuk melihat proses kolaborasi secara utuh dengan persilangan proses antar masing-masing seniman.
Budhiana sendiri mengakui agak sulit melakukan interaksi secara penuh karena kondisi penonton yang agak sulit diatur. Mestinya mereka bisa duduk tenang untuk menikmati keseluruhan  penampilan. “Saya sendiri sulit bergerak untuk mengeksplorasi seluruh ruangan,” ujar alumni ISI Yogyakarta itu.  Namun demikian sebagai upaya yang baru pertama kali dilakukan, dia cukup puas dengan suasana pameran itu. ROFIQI HASAN

No comments: