Jul 7, 2011

Melukis Bali yang Berubah

Repro by Rofiqi
Perempuan dan laki-laki ambruk hampir bersamaan. Dalam keadaan setengah sadar mereka menggapai-gapai seolah menyambut kehadiran para Dewa dalam  ritual itu. Mereka kemudian disadarkan dengan percikan tirta dan puja mantra.
Adegan dengan pesona mistis itu diabadikan Rio Helmi dalam fotonya. Setelah puluhan tahun, dia merasa spiritnya masih bertahan dan menepis rasa bosan untuk menikmatinya. Ia lalu ingin memunculkannya dengan mengolah ulang foto menjadi sebuah lukisan. Tepatnya dengan menyapukan warna-warna pada foto itu untuk menghasilkan efek tertentu.  “Hasilnya adalah realitas baru yang tak kuduga sebelumnya,” ujarnya fotografer senior ini.
Bersama dengan puluhan karya serupa, kini foto setengah lukisan itu dipajang di Galeri Komaneka, Ubud hingga Agustus mendatang.  Dalam pameran bertajuk  Transitory itu, foto-foto  hitam putih dicetak  di atas kanvas seluruhnya menunjukkan aneka upacara di Bali.  Nuansa mistis dan sakral mewarnai hampir seluruh obyek bahkan ketika Rio menampilkan close up wajah-wajah mereka.
 Lihat pada foto “Macan” yang menampilkan seorang penari dalam Gerebeg Aksara. Ia menggunakan tudung yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Wajahnya muncul dibalik topeng barong macan dengan warna-warna yang dipertegas dengan warna merah dan kuning emas . Sementara latar belakang obyek itu dibiarkannya tetap hitam putih sehingga sangat menonjol kontrasnya.
Suasana mistis itu memang menjadi makin kuat bahkan pada foto-foto yang sejatinya hanyalah peristiwa biasa saja. Seperti ketika dia mengolah foto anak-anak yang sedang menari Garuda Layang dan ditonton oleh teman-temannya. Tambahan kabut yang menyelimuti si penari, telah membuatnya seolah melayang di udara. 
 Rio menyebut, ketika menyapukan kuasnya di atas foto, dia sengaja membebaskan dirinya dari hasrat untuk menciptakan efek tertentu. Kalau pun terbersit sebuah keinginan, maka bisa saja kemudian berubah dalam penggarapan. Hal itu nyaris sama dengan proses kreatifnya saat memotret dimana perubahan obyek akan menuntunnya menemukan adegan terbaik yang bisa diambil. “Saat melukis foto, sayalah yang menjadi penentu sepenuhnya,” kata pria kelahiran Swiss 1954 itu.
Proses itu bukanlah tanpa resiko. Apalagi dia mengaku, bukanlah seorang pelukis yang mumpuni dengan tehnik yang sudah matang. Modal yang dipunyainya sebagai fotografer adalah kepekaan terhadap cahaya dan warna-warna yang bisa ditimbulkan. Selain itu, kedekatan terhadap obyek yang sudah diakrabinya sejak puluhan tahun lalu.
Resiko itu antara lain adalah hilangnya kekuatan foto sebagai alat untuk merekam realitas secara detail dan jujur. Hal itu misalnya terlihat pada foto Tedun  dimana background dari obyek sejatinya adalah pepohonan besar tetapi berubah menjadi warna hitam pekat belaka. Ada juga kesan yang tak utuh karena warna-warna yang muncul tiba-tiba sehingga merusak komposisi foto itu.
Pengamat seni Jean Couteau, keberanian Rio memilih cara baru dalam menampilkan fotonya merupakan sebuah terobosan. “Kita diajak melampaui realitas dan menemukan konotasi baru di atasnya,” ujarnya. Meski agak sulit, menurutnya, penikmatan atas karya itu tak akan cukup bila menggunakan kaidah fotografi  belaka, atau sebaliknya dengan melihatnya sebagai sebuah lukisan.
Tapi bagi pria Perancis yang sudah puluhan tahun tinggal di Bali itu, bagian paling menarik adalah tajuk pameran Transitory  yang berarti  peralihan. Bisa jadi tajuk itu menunjukkan perubahan  dalam diri Rio dalam cara memandang  Bali. Tapi bukan tidak mungkin  Rio melihat perubahan dalam ritual di Bali dimana sakralitas mulai memudar. Transitory bahkan bisa diartikan sebagai pertanda sebuah kematian.
 Soal itu, Rio tak menjawab tegas. Bagi dia, pameran itu lebih untuk menunjukkan jurus baru dalam memunculkan dirinya. “Kalau ada penilaian lain, saya persilahkan saja,” ujarnya. Yang jelas, aktivitas melukis memberinya rasa nyaman untuk duduk berjam-jam menghadapi kanvas. Ini berbeda dengan cara kerja sebagai fotografer yang menuntut kepekaan insting dan gerak cepat.
 Adapun tentang kebudayaan Bali yang menjadi obyek utama foto-fotonya, dia setuju bukanlah sesuatu yang statis. Selama bertahun-tahun  memotret Bali, dia merasa ,  kefanaan segala hal dalam kehidupan menjadi lebih nyata. “ Saya telah berupaya untuk menangkap momen-momen saat ‘wahyu’ tampak, momen manifestasi, atau bahkan mungkin semata-mata bukti kesementaraan,” katanya.  ROFIQI HASAN

Catatan : Tulisan ini dimuat di Koran Tempo , edisi 7 Juli 2011

No comments: