Jul 6, 2011

Kenangan untuk Mari Nabeshima

Setahun sudah Mari Nabeshima pergi. Kenangan bagi wanita kelahiran Saga, Jepang 29 Mei 1972 itu dipersembahkan , Senin (5/7) malam di Inna Natour Veteran. Yakni melalui penerbitan sebuah buku “Cecangkriman Tembang Penjaga Jiwa Raga”.



“Semua yang mencintainya Mari datang kesini malam ini,” kata Dewa Gde Palguna, pendiri Arti Foundation yang menerbitkan buku tersebut. Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi itu menyebut, buku Mari merupakan pengingat untuk terus menggali kekayaan budaya Bali sebagaimana yang telah dilakukan wanita mungil itu.

Cecangkriman sendiri  adalah sebentuk tembang Bali yang dikenal sebagai lantunan ninabobo.  Lagu-lagunya sederhana seperti terlihat dalam tembang pucung, dan di dalamnya terkandung teka-teki dengan berbagai gaya. Kendati disusun dalam bentuk sederhana, cecangkriman berunsurkan buana alit (mikrokosmos) dan buana agung (makrokosmos). Selain itu, cecangkriman memiliki kandungan sastra yang penuh dengan makna logik, etik, dan estetik yang dalam sastra Bali disebut siwam, satyam, dan sundaram.

“Pelantunan cecangkriman memiliki aspek magis dan kekuatan gaib” kata Prof.Dr I Made Bandem yang menjadi pembahas buku itu . Tembang ini dilantunkan turun-temurun oleh orang Bali terutama untuk melindungi bayi dan anak-anak dari ancaman jahat kekuatan gaib. Mari Nabeshima mencermati suara dan ucapan tembang ini yang berperan sebagai jimat, serta kekuatan berkomunikasi kepada keberadaan supernatural, seperti dewa dan roh jahat.

Nyanyian cecangkriman dinyanyikan untuk upacara manusa yadnya khususnya dalam upacara untuk bayi mulai lahir sampai menyambut otonan pertama, saat bayi berumur 210 hari.  Misalnya, keluarga Kerajaan Karangasem selalu melagukan sebuah kidung sejenis cecangkriman yang disebut kidung Rumaksa ing Wengi (pelindung di malam hari). Contoh lain adalah cecangkriman yang dimulai dengan kata “bibi anu” dilantunkan pada upacara otonan pertama bagi bayi-bayi di Desa Sidemen, Karangasem.

Selain dalam konteks ritual, cecangkriman dilantunkan untuk melindung jiwa raga manusai dari berbagai kekuatan berbahaya yang dapat menyerangnya. Di situ muncul dugaan bahwa cecangkriman merupakan sebuah ruang perlindungan berlatar belakang sehari-hari, sebagai pintu masuk ke dunia lain atau sebagai ritual di dalam pribadi manusia, yang berbeda dengan ruang ritual yang dipamerkan oleh otoritas agama dan adat oleh para pendeta.

Buku itu tersusun sebagian dari disertasi Mari Nabeshima saat ia menempuh pendidikan S3 di jurusan musikologi Tokyo University of Arts. Buku ini merupakan penyusunan kembali sebuah bab dalam disertasi tersebut, yakni bab yang membahas cecangkriman. “Penelitian ini pun sangat langka karena biasanya orang lebih tertarik pada instrument gamelan,” kata Bandem yang pernah menjabat sebagai Rektor STSI Denpasar dan ISI Yogyakarta.

Catatan : Tulisan ini telah ditayangkan di http://www.tempointeraktif.com/hg/sastra_dan_budaya/2011/07/05/brk,20110705-344911,id.html

1 comment:

Anonymous said...

test