Sep 3, 2017

Dilema Museum Sang Hyang Dedari

SARASDEWI saat menjadi pembicara dalam diskusi di
Lingkara Photography Community
, pekan lalu
Beautiful Girl with beautiful mind. Begitulah kesimpulan saya mengenai pembicara Diskusi Senin malam pekan lalu di Lingkara Photography Community acara Lingkara PhotoCoffee. Maklumlah, dia adalah Saras Dewi . Dosen dan peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI). Tapi perlu diingat juga bahwa di masa remajanya, gadis Bali ini pernah mencicipi jadi artis dengan lagu hits Lembayung Bali.

Malam itu Saras- yang disebut moderator, Bobby Ganaris sebagai Yayas-  bicara tentang rencana UI bersama desa adat Geriana Kauh di desa Duda, Karangasem untuk membangun museum Sang Hyang Dedari. Rencana itu mengacu oada kerjasama sebelumnya dimana Saras dan Tim UI telah melakukan riset mendalam terhadap tarian sakral dan langka ini sejak tahun 2013.


Museum diharapkan nantinya menjadi referensi bagi siapapun yg ingin tahu lebih banyak mengenai tarian Sang Hyang. Bahkan bukan hanya Sang Hyang Dedari tapi juga tarian Sang Hyang lainnya yang didokumentasikan UI. Pihak UI juga akan menggali dokumentasi tarian ini yang tersebar di sejumlah museum di luar negeri.

Niat yg bagus, tentunya. Tapi bisa jadi akan ada tuduhan bahwa ujung-ujungnya toh hanya untuk pariwisata juga. Museum dan tarian yang akan dipopulerkan kembali itu notabene bisa menjadi daya tarik wisata yg mengurangi kesakralannya.

Malam itu pertanyaan atau pernyataan penting juga datang dati jik Agung Alit mengenai seberapa penting mendokumentasikan dan menghidupkan tarian yg umumnya ditampilkan setelah orang menghadapi musibah atau bencana ini, saat masalah masalah besar di Bali tak pernah diatasi.  Dua diantaranya yg dia contohkan adalah luka sosial setelah peristiwa pembunuhan massal di tahun 65 dan kasus kasus KDRT yang massif gara gara kuatnya sistim patriarkhi.

Skeptisme lebih menusuk muncul dari seniman Gde Yudane yg menganggap museum sebagai bentuk mistifikasi masa silam Bali sebagai hal yang lebih hebat. Apalagi bila telah didokumentasikan oleh orang asing. Dia membandingkan kasusnya dengan upaya repatriasi (pemulangan kembali) dokumen musik dan tari Bali yg kemudian disertai kampanye bahwa apa yg afa dalam dokumentasi itu adalah yg terbaik. Padahal bisajadi karena keterbatasan tehnis saat itu maka yg muncul hanyalah bagian kecil yg dikompromikan dengan kondisi saat itu. 

Dalam kasus penulisan musik Bali oleh Collin Mc Phee yg banyak dijadikan acuan, menurutnya, ada banyak yang tidak pas. "Hanya karena kita tidak tahu maka kita anggap hebat," ujarnya. Lagipula, tanya dia, apa relevansi Sang Hyang ketika orang sakit lebih baik disembuhkan lewat jalan medis.
Namun malam itu muncul pula pembelaan dari bli Iwan Dewantama, aktivis lingkungan. Menurutnya, Sang Hyang merupakan jalan alternatif untuk menjaga keseimbangan psikologis. Ia bahkan terlibat dalam penggunaan tari Sang Hyang Ukupan di Nusa Lembongan setelah sempat terjadi ketegangan di pulau itu gara gara rencana masuknya investor besar di tahun 2004.

Adapun di Geriana Kauh, tari Sang Hyang Dedari yang boleh ditarikan oleh perempuan yang belum akil balik digelar kembali sebagai bentuk mulat sarira atau koreksi diri. Ini terkait dengan kondisi persawahan di desa itu yang mengalami kerusakan berat setelah sejak tahun 60-an dikelola dengan model revolusi hijau yang mengandalkan pupuk kimia. Bersama dengan digelarnya tarian ini, ada niat warga untuk merubah pola pertanian menjadi pola organik. Warga juga prihatin karena banyaknya anak muda yang bekerja ke perkotaan dan meninggalkan sawahnya. "Warga disana masih merasakan perlunya Tarian Sang Hyang. Mungkin tidak bisa dijelaskan secara rasional. Tapi mereka jelas membutuhkan," jelasnya.

 Keterlibatan UI menjadi penting untuk memperluas wacana mengenai tarian Sang Hyang itu sendiri. "Soal apakah akan jadi bentuk eksploitasi pariwisata, ya itu juga kekhawatiran saya, tapi ini niatnya untuk pelestarian," ujarnya. Warga pun kata dia sudah mulai menyusun batasan-batasan terkait dengan pementasan maupun pendirian museum.

Tentang  batasan itu sempat muncul protes dari kalangan fotografer. Sebab, awalnya pemotretan boleh dilakukan tapi tanpa penggunaan flash. Belakangan, pemotretan dilarang sama sekali. "Ini maksudnya apa, apa memang mengganggu konsentrasi penari?," tanya Rudi Waisnawa. Saras sendiri mengaku tak tahu persis alasan dibalik pelarangan itu. Tapi menurutnya, warga memang sangat berhati-hati ketika menyiapkan pementasan tarian ini agar tujuannya bisa tercapai. Dibutuhkan pendekatan berbulan-bulan, agar dia mendapat kepercayaan untuk terlibat dalam acara itu.

Hemm, susah memang mempertemukan banyak keinginan. dan kepentingan (RH)

foto #Anggara Mahendra

No comments: