Aug 23, 2017

Made Wianta, Traktat Breda dan 350 Tahun Sejarah yang Dilupakan

TAHUN ini mestinya menjadi tahun yang gilang  gemilang bagi maestro perupa Made Wianta. Perjalanan gagasannya menjadi karya-karya mutakhir seperti mencapai puncaknya. Sebagian besar dikerjakannya sendiri, sisanya dieksekusi oleh sejumlah seniman dalam  genre yang beragam. Ini bisa dibilang  karya yang luar biasa karena mengangkat kembali sejarah yang dilupakan selama 350 tahun. Padahal merupakan penanda sebuah perubahan besar dalam interaksi antar bangsa.


Sejarah itu adalah tentang Traktat Beda, sebuah perjanjian yang mempertukarkan Pulau Run di wilayah kepulauan Banda dengan  wilayah New Amsterdam yang kini menjadi Manhattan di wilayah Amerika . Pertukaran di tahun 1667 itu mengakhiri perang panjang antara penguasa kolonial Belanda dengan Inggris. Dengan penguasaan pulau itu, Belanda kemudian menguasai perdagangan pala dengan kualitas nomor satu di pasar internasional.

 Keuntungan mereka menjadi berlipat-lipat, karena di bawah perintah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen, diterapkanlah sistim perbudakan yang sangat kejam. Di sisi lain, Manhattan pun kemudian berkembang pesat dalam penguasaan Inggris. Ironinya, saat ini Pulau Run masih menjadi sebuah pulau terpencil sementara Manhattan justru menjadi salah-satu pusat perdagangan dunia.
Gagasan Wianta  untuk peristiwa itu berawal dari perbincangan bersama sejumlah budayawan dan seniman diantaranya Romo Mudji Sutrisno, Taufik Rahzen, Seno Joko Suyono, Nirwan Ahmad Arsuka, Taufik Rahzen, Sari Majid, dan pelukis Hanafi. Mereka bertemu di sela-sela muhibah budaya pra Olimpiade Athena di Yunani pada 2004.

Mereka rata-rata resah karena Indonesia di forum itu masih digolongkan sebagai negara Under Development padahal sudah ada sumbangan yang nyata bagai peradaban dunia. Persisnya, dengan  pengaruh kualitas rempahnya yang membuat bangsa-bangsa Eropa berdatangan di wilayah ini dan khususnya dalam peristiwa Traktat Breda.

Buah Pala Ikon Pulau Run
 Perdagangan rempah di masa itu, dan khususnya buah pala menjadi sangat penting karena gunanya untuk masakan dan pengobatan. Pada awalnya, bangsa Mesir menggunakannya untuk  mengawetkan mummy. Kemudian buah pala yang memiliki nama latin Myristica fragrans berkembang sebagai bahan serupa anestesi untuk menidurkan orang yang sakit. Dari Mesir, rempah-rempah kemudian dibawa para pedagang ke Turki hingga sampai ke Venesia di Italia.

Masalah muncul saat kerajaan Ottoman menguasai sebagian  Eropa dan menhambat pengiriman rempah.  Karena itu Raja Spanyol  memerintahkan para pelautnya menyusuri berbagai kepulauan. Ada yang tersesat hingga menemukan Amerika dengan sebutan orang Indian bagi para penghuninya. Sebenarnya itu karena Columbus mengira,  ia telah mencapai wilayah Hindia. Belakangan, Portugis menemukan kepulauan nusantara disusul oleh Inggris dan Belanda. Karena belum ada sebutannya, wilayah ini lalu dinamai East Hindia.

Inggris sempat menguasai kepulauan Banda . Namun kemudian Belanda merangsek hingga Inggris hanya menguasai satu pulau saja, yakni Pulau Run. Pulau itu sangat penting karena merupakan penghasil pala yang terbaik saat itu.  Akibatnya, Inggris pun mempertahankannya mati-matian sampai akhirnya Belanda  menawarkan traktat Breda itu.

Setelah dikuasai, Pulau Run menjadi kebanggaan Belanda hingga dibangunnya rumah jabatan yang begitu mewah serta benteng pentagon di Banda. Rumah itu yang kabarnya menjadi model pembuatan Istana Merdeka di Jakarta, Kualitas  air tawar dari pulau itu bahkan rutin dibawa ke Batavia karena kepercayaan Gubernur Hindia Belanda akan khasiatnya.

Usai obrolan di tahun 2004 itu, Wianta begitu terobsesi untuk membuat karya seni yang idenya menyandingkan Pulau Run dengan Manhattan saat ini. Wianta pun menyiapkan sejumlah rencana termasuk dengan mengunjungi museum di Belanda yang menyimpan benda bersejarah tentang pelayaran ke Nusantara.

Dalam kesempatan pameran tunggal di New York (2005) dan ketika lima bulan menjadi dosen tamu di Holy Cross College, Massachusetts pada 2012, ia sempatkan melakukan riset kecil di Manhattan. Selain bekerjasama dengan Ron Jenkins sahabatnya, Wianta juga berkonsutasi dengan mantan kurator Museum der Kulturen Basel Urs Ramseyer..

Manhattan dalam Imajinasi Made Wianta
Pada awal 2013, dia bersama tim Wianta Foundation,  dan Dekan Teater Universitas Wesleyan, Amerika Serikat, Prof.Dr. Ron Jenkins melakukan napak tilas ke Pulau Run. Dari berbagai referensi dan kunjungan ke pulau yang pernah menjadi pusat perdagangan rempah itu lahir  sejumlah karya seni rupa, fotografi, film dokumenter dan teater.

Dari Bali, perjalanan ke pulau itu terhitung cukup lama. Dimulai dengan penerbangan dari Denpasar ke Makasar pada pukul 01.00 wita dan kemudian rombongan harus menginap di bandara untuk menunggu pesawat pukul 05.00 wita yang akan membawa ke Ambon. Setelah itu, mereka dibawa dengan perahu selama 8 jam sebelum dipindahkan ke speedboat untuk mencapai pulau Run.

 Jajaran kepulauan Banda menyajikan pemandangan istimewa, salah-satunya adalah pulau dengan pasir putih yang menjadi tempat syuting film Pirates the Caribbean. Sepanjang perjalanan, Wianta mulai membuat sket di atas kertas untuk mendokumentasikan gagasan-gagasannya.

Alam di sekitar Pulau Run terasa sangat indah termasuk dengan terumbu karang yang setara dengan kepulauan Raja Empat di Papua. Begitu pula dengan pasir pantainya, yang menurut Wianta, setara dengan keindahan Maldives. Perpaduannya adalah dengan gunung api yang menjadi landmarknya. Pulau-pulau itu dilindungi oleh ombak yang sangat besar layaknya tsunami yang sangat sulit ditembus hingga seorang prajurit Belanda pernah mengakhiri hidupnya setelah 5 tahun terjebak di pulau itu. Ia menuiskan pesan terakhir di kaca rumah jabatan yang masih ada hingga sekarang.

Suasana itu dpindahkan Wianta dalam karya seni rupa dalam berbagai gaya. Ada pula yang berupa karya instalasi , salah-satunya adalah instalasi dengan memanfaatkan jarum yang dipasangnya di atas papan. Karya ini untuk menggambarkan adanya hujan di pulau itu yang bila jatuh rasanya seperti sedang dihujani oleh jarum. Imajinasinya juga menarik pulau-pulau itu dalam kesatuan yang lebih besar yang disebut nusantara.

Adapun mengenai Manhattan,  Wianta benar-benar memanfaatkan gaya kubisme yang ditekuninya untuk memotret wilayah ini. Manhattan dikenal sebagai kota yang dirancang sangat bagus, rapi dan efisien sehingga menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia. Ia pun menampilkan patung Liberty, dan gedung balaikota di New York sebagai simbol wilayah ini. Di sisi lain, sebagai kota besar Manhattan tak lepas dari problem polusi yang dilambangkan Wianta dengan instalasi pohon knalpot yang mengepulkan asap.

Proses yang berjalan lama itu dibiayai sendiri oleh Wianta dengan penjualan karya di pameran-pamerannya. Sejumlah pameran yang pernah digelar antara lain adalah  Gunung Api Banda di Ciputra Artpreneur Jakarta (2010), Treasure Island di Gaya Gallery Ubud (2012),  Islands di World Bank Washington (2013), dan After Utopia, Singapore Art Museum (2015).  Wianta juga pernah melakukan presentasi proyek seni ini dalam acara diskusi Peradaban Bahari dan Rempah Nusantara, serangkaian kegiatan Road to Borobudur Writers & Cultural Festival 2013. 

 Untungnya, banyak pihak yang kemudian bersedia membantu sehingga realisasinya makin kelihatan seperti dengan pembuatan kalender, pembuatan scarf yang diwujudkan oleh perancang Samuel Wattimena, dan juga pementasan teater. Pentas bertajuk Islands: The Lost History of the Treaty that Changed the World  disutradarai olehRon Jenkins pada 21 -22 April di Weslevan University, Conneticut dan di konsultas AS di New York pada 23 April. Pentas juga telah dilakukan di Bali dan selanjutnya akan dipentaskan di Jakarta. Rangkaian karya itu akan dikompilasi dalam sebuah buku berjudul “Run for Manhattan” yang bakal diluncurkan di bulan Oktober ini yang menandai perayaan 350 tahun traktat Breda.

Sayang sungguh sayang, kondisi kesehatan Wianta sendiri saat ini belum pulih sepenuhnya setelah kecelakaan yang menimpanya dua tahun silam. Seperti ketika menonton pertunjukan teater tentang traktat itu pada Kamis (17/8) lalu, Wianta masih harus duduk di atas kursi roda. Ia pun masih sulit untuk diajak berkomunikasi. Toh begitu, semangat dan gairah masih terpancar jelas di wajahnya. ROFIQI HASAN

#Wianta #TraktatBreda #Senirupa #Bali #Denpasar #Arma #Ubud

baca :
Ini Dia Menu Spesial di Kubukopi
Dari Run ke Manhattan

1 comment:

tomblos said...

Menarik jadi tahu kisah dibalik Manhattan. Waktu di Arma, sayang sekali propertynya sepertinya dikerjakan asal-asalan dan hanya dengan pencahayaan general. Untuk sebuah pertunjukan seorang Profesor, biasa saja. Masih bagusan pementasan teater kalangan yang sempat saya tonton walau tempatnya di sebuah petak kebun pinjaman.