TAHUN ini mestinya menjadi tahun yang gilang gemilang bagi maestro perupa Made Wianta. Perjalanan
gagasannya menjadi karya-karya mutakhir seperti mencapai puncaknya. Sebagian
besar dikerjakannya sendiri, sisanya dieksekusi oleh sejumlah seniman
dalam genre yang beragam. Ini bisa
dibilang karya yang luar biasa karena mengangkat
kembali sejarah yang dilupakan selama 350 tahun. Padahal merupakan penanda
sebuah perubahan besar dalam interaksi antar bangsa.
Sejarah itu adalah tentang Traktat Beda, sebuah perjanjian
yang mempertukarkan Pulau Run di wilayah kepulauan Banda dengan wilayah New Amsterdam yang kini menjadi Manhattan
di wilayah Amerika . Pertukaran di tahun 1667 itu mengakhiri perang panjang
antara penguasa kolonial Belanda dengan Inggris. Dengan penguasaan pulau itu,
Belanda kemudian menguasai perdagangan pala dengan kualitas nomor satu di pasar
internasional.
Keuntungan mereka
menjadi berlipat-lipat, karena di bawah perintah Gubernur Jenderal Jan
Pieterzoen Coen, diterapkanlah sistim perbudakan yang sangat kejam. Di sisi
lain, Manhattan pun kemudian berkembang pesat dalam penguasaan Inggris.
Ironinya, saat ini Pulau Run masih menjadi sebuah pulau terpencil sementara
Manhattan justru menjadi salah-satu pusat perdagangan dunia.
Gagasan Wianta untuk peristiwa
itu berawal dari perbincangan bersama sejumlah budayawan dan seniman
diantaranya Romo Mudji Sutrisno, Taufik Rahzen, Seno Joko Suyono, Nirwan Ahmad
Arsuka, Taufik Rahzen, Sari Majid, dan pelukis Hanafi. Mereka bertemu di
sela-sela muhibah budaya pra Olimpiade Athena di Yunani pada 2004.
Mereka rata-rata resah karena Indonesia di forum itu masih
digolongkan sebagai negara Under
Development padahal sudah ada sumbangan yang nyata bagai peradaban dunia.
Persisnya, dengan pengaruh kualitas
rempahnya yang membuat bangsa-bangsa Eropa berdatangan di wilayah ini dan
khususnya dalam peristiwa Traktat Breda.
Buah Pala Ikon Pulau Run |
Perdagangan rempah di
masa itu, dan khususnya buah pala menjadi sangat penting karena gunanya untuk
masakan dan pengobatan. Pada awalnya, bangsa Mesir menggunakannya untuk mengawetkan mummy. Kemudian buah pala yang
memiliki nama latin Myristica fragrans
berkembang sebagai bahan serupa anestesi untuk menidurkan orang yang sakit.
Dari Mesir, rempah-rempah kemudian dibawa para pedagang ke Turki hingga sampai
ke Venesia di Italia.
Masalah muncul saat kerajaan Ottoman menguasai sebagian Eropa dan menhambat pengiriman rempah. Karena itu Raja Spanyol memerintahkan para pelautnya menyusuri
berbagai kepulauan. Ada yang tersesat hingga menemukan Amerika dengan sebutan
orang Indian bagi para penghuninya. Sebenarnya itu karena Columbus mengira, ia telah mencapai wilayah Hindia. Belakangan,
Portugis menemukan kepulauan nusantara disusul oleh Inggris dan Belanda. Karena
belum ada sebutannya, wilayah ini lalu dinamai East Hindia.
Inggris sempat menguasai kepulauan Banda . Namun kemudian
Belanda merangsek hingga Inggris hanya menguasai satu pulau saja, yakni Pulau
Run. Pulau itu sangat penting karena merupakan penghasil pala yang terbaik saat
itu. Akibatnya, Inggris pun
mempertahankannya mati-matian sampai akhirnya Belanda menawarkan traktat Breda itu.
Setelah dikuasai, Pulau Run menjadi kebanggaan Belanda
hingga dibangunnya rumah jabatan yang begitu mewah serta benteng pentagon di
Banda. Rumah itu yang kabarnya menjadi model pembuatan Istana Merdeka di
Jakarta, Kualitas air tawar dari pulau
itu bahkan rutin dibawa ke Batavia karena kepercayaan Gubernur Hindia Belanda
akan khasiatnya.
Usai obrolan di tahun 2004 itu, Wianta begitu terobsesi
untuk membuat karya seni yang idenya menyandingkan Pulau Run dengan Manhattan
saat ini. Wianta pun menyiapkan sejumlah rencana termasuk dengan mengunjungi
museum di Belanda yang menyimpan benda bersejarah tentang pelayaran ke
Nusantara.
Dalam kesempatan pameran tunggal di New York (2005) dan
ketika lima bulan menjadi dosen tamu di Holy Cross College,
Massachusetts pada 2012, ia sempatkan melakukan riset kecil di Manhattan.
Selain bekerjasama dengan Ron Jenkins sahabatnya, Wianta juga berkonsutasi
dengan mantan kurator Museum der Kulturen Basel Urs Ramseyer..
Manhattan dalam Imajinasi Made Wianta |
Pada awal 2013, dia bersama tim Wianta Foundation, dan Dekan Teater Universitas Wesleyan,
Amerika Serikat, Prof.Dr. Ron Jenkins melakukan napak tilas ke Pulau Run. Dari
berbagai referensi dan kunjungan ke pulau yang pernah menjadi pusat perdagangan
rempah itu lahir sejumlah karya seni rupa, fotografi, film dokumenter dan
teater.
Dari Bali, perjalanan ke pulau itu terhitung cukup lama.
Dimulai dengan penerbangan dari Denpasar ke Makasar pada pukul 01.00 wita dan
kemudian rombongan harus menginap di bandara untuk menunggu pesawat pukul 05.00
wita yang akan membawa ke Ambon. Setelah itu, mereka dibawa dengan perahu
selama 8 jam sebelum dipindahkan ke speedboat untuk mencapai pulau Run.
Jajaran kepulauan
Banda menyajikan pemandangan istimewa, salah-satunya adalah pulau dengan pasir putih yang
menjadi tempat syuting film Pirates the Caribbean. Sepanjang perjalanan, Wianta
mulai membuat sket di atas kertas untuk mendokumentasikan gagasan-gagasannya.
Alam di sekitar Pulau Run terasa sangat indah termasuk
dengan terumbu karang yang setara dengan kepulauan Raja Empat di Papua. Begitu
pula dengan pasir pantainya, yang menurut Wianta, setara dengan keindahan
Maldives. Perpaduannya adalah dengan gunung api yang menjadi landmarknya.
Pulau-pulau itu dilindungi oleh ombak yang sangat besar layaknya tsunami yang
sangat sulit ditembus hingga seorang prajurit Belanda pernah mengakhiri
hidupnya setelah 5 tahun terjebak di pulau itu. Ia menuiskan pesan terakhir di
kaca rumah jabatan yang masih ada hingga sekarang.
Suasana itu dpindahkan Wianta dalam karya seni rupa dalam
berbagai gaya. Ada pula yang berupa karya instalasi , salah-satunya adalah
instalasi dengan memanfaatkan jarum yang dipasangnya di atas papan. Karya ini
untuk menggambarkan adanya hujan di pulau itu yang bila jatuh rasanya seperti
sedang dihujani oleh jarum. Imajinasinya juga menarik pulau-pulau itu dalam
kesatuan yang lebih besar yang disebut nusantara.
Adapun mengenai Manhattan,
Wianta benar-benar memanfaatkan gaya kubisme yang ditekuninya untuk
memotret wilayah ini. Manhattan dikenal sebagai kota yang dirancang sangat
bagus, rapi dan efisien sehingga menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia.
Ia pun menampilkan patung Liberty, dan gedung balaikota di New York sebagai
simbol wilayah ini. Di sisi lain, sebagai kota besar Manhattan tak lepas dari
problem polusi yang dilambangkan Wianta dengan instalasi pohon knalpot yang
mengepulkan asap.
Proses yang berjalan lama itu dibiayai sendiri oleh Wianta
dengan penjualan karya di pameran-pamerannya. Sejumlah pameran yang pernah
digelar antara lain adalah Gunung Api Banda di Ciputra Artpreneur
Jakarta (2010), Treasure Island di Gaya Gallery Ubud (2012),
Islands di World Bank Washington (2013), dan After Utopia,
Singapore Art Museum (2015). Wianta juga pernah melakukan presentasi
proyek seni ini dalam acara diskusi Peradaban Bahari dan Rempah
Nusantara, serangkaian kegiatan Road to Borobudur Writers & Cultural
Festival 2013.
Untungnya, banyak
pihak yang kemudian bersedia membantu sehingga realisasinya makin kelihatan
seperti dengan pembuatan kalender, pembuatan scarf yang diwujudkan oleh
perancang Samuel Wattimena, dan juga pementasan teater. Pentas
bertajuk Islands: The Lost History of the Treaty that Changed the World disutradarai olehRon Jenkins pada 21 -22 April
di Weslevan University, Conneticut dan di konsultas AS di New York pada 23
April. Pentas juga telah dilakukan di Bali dan selanjutnya akan dipentaskan di
Jakarta. Rangkaian karya itu akan dikompilasi dalam sebuah buku berjudul “Run
for Manhattan” yang bakal diluncurkan di bulan Oktober ini yang menandai
perayaan 350 tahun traktat Breda.
Sayang sungguh sayang, kondisi kesehatan Wianta sendiri saat
ini belum pulih sepenuhnya setelah kecelakaan yang menimpanya dua tahun silam.
Seperti ketika menonton pertunjukan teater tentang traktat itu pada Kamis
(17/8) lalu, Wianta masih harus duduk di atas kursi roda. Ia pun masih sulit
untuk diajak berkomunikasi. Toh begitu, semangat dan gairah masih terpancar
jelas di wajahnya. ROFIQI HASAN
#Wianta #TraktatBreda #Senirupa #Bali #Denpasar #Arma #Ubud
baca :
Ini Dia Menu Spesial di Kubukopi
Dari Run ke Manhattan
#Wianta #TraktatBreda #Senirupa #Bali #Denpasar #Arma #Ubud
baca :
Ini Dia Menu Spesial di Kubukopi
Dari Run ke Manhattan
1 comment:
Menarik jadi tahu kisah dibalik Manhattan. Waktu di Arma, sayang sekali propertynya sepertinya dikerjakan asal-asalan dan hanya dengan pencahayaan general. Untuk sebuah pertunjukan seorang Profesor, biasa saja. Masih bagusan pementasan teater kalangan yang sempat saya tonton walau tempatnya di sebuah petak kebun pinjaman.
Post a Comment