25 perupa Bali mengekplorasi Pulau Nusa Penida. Hasilnya, ada
perayaan keindahan, mistifikasi hingga kritik sosial
Seekor Keker (Ayam Hutan) dari emas diyakini hidup di Nusa
Penida, sebuah pulau kecil di selatan Bali. Cerita rakyat menyebut, para
pemburu harta karun berkali-kali telah berusaha untuk menangkap hewan ini.
Sampai di tahun 70-an, salah-satunya berhasil dijerat dan dibawa naik ke kapal.
Malangnya, ditengah laut saat menyeberang menuju Bali, kapalitu tersambar petir dan tenggelam.
Bagi perupa Putu Edy Asmara, cerita itu menjadi inspirasi untuk
lukisannya yang diberi tajuk “Queen”. Dia menampilkan seekor ayam dengan rupa
seorang gadis nan cantik bermahkotakan
dahan dan ranting pohon dengan latar belakang langit hijau dan awan putih. Di
sekelilingnya, ada cacing-cacing yang lucu.
“Keindahan pulau ini memang belum terlalu terungkap dibanding daerah
lain di Bali,” ujarnya, Jum’at, 7 Juli 2017..
Karya Putu kini dipamerkan di Santrian Gallery Sanur, bersama
karya 24 pelukis lainnya yang tergabung
dalam kelompok Militan Arts hingga 25 September 2017 nanti. Pameran ini unik karena dimulai
dari ekplorasi bersama terhadap satu obyek dengan selama 2 hari tinggal di
lokasi. Yakni, di Pantai Atuh, Nusa Penida. Disini, para seniman diberi
kesempatan untuk berinteraksi dengan warga sekitar serta menghirup atmosfir pantai yang terhitung masih perawan
meski mulai tersentuh oleh industri pariwisata.
Selama ini Nusa Penida sendiri dikesankan sebagai pulau yang
sakral dan mistis dengan wilayah yang berbukit-bukit nan gersang.. Kondisi
ekonomi warganya pun dianggap relatif ketinggalan dibandingkan dengan daerah
lain di Bali.Kesan itu seperti terbantahkan melalui pameran ini. Dengan gayanya
masing-masing, para perupa menampilkan sudut-sudut keindahan pulau ini. Seperti
yang dilakukan Made Supena yang selama ini dikenal dengan lukisan abstraknya.
Dia mengangkat keindahan terumbu karang di bawah laut dengan sapuan lembut
warna putih di atas kanvas berlatar belakang pekatnya warna hitam. Supena yang
sebelumnya lebih banyak mengekplorasi keindahan suasana pegunungan di saat
fajar mengaku, imajinasinya terseret ke
kedalaman dasar laut.
Perupa Made Wiradana Menjelaskan Karyanya (Kubukopi/Ade Ahimsa) |
Yang cukup khas menampilkan potensi pulau ini adalah lukisan
Somya Prabawa. Dengan gaya realis, dia menampilkan ikan Mola-mola, spesies ikan
yang tak ditemukan di tempat lain di Bali dan kini menjadi primadona wisata
selam. Ada pula karya Ni Komang Atmi Kristiadewi dengan gaya dekoratif yang
menampilkan detail kekayaan pulau ini dari dalam laut hingga lanskap
pegunungannya. Ia melengkapinya dengan keceriaan anak-anak yang naïf yang
berinteraksi dengan berbagai penghuni samudera.
Namun sebagian besar perupa
mengekpresikan kesan mereka melalui simbolika yang sudah biasa mereka
olah. Seperti yang dilakukan pelukis wayang, Ketut Teja Astawa yang melihat
pulau ini sebagai tempat pertarungan antara kekuatan-kekuatan mistis.
Tebing-tebing pantai dan bukit-bukit yang menjulang adalah wahana bagi
pencarian nilai spiritual dimana selalu terjadi bentrokan antara kebaikan dan
keburukan. Kesan itu yang muljuga
ditangkap oleh Putu Bonuz Sudiana. Uniknya, dia adalah warga asli Nusa Penida
sehingga sekaligus merupakan pelaku budaya yang intens. Bagi dia, pulau ini
ibarat kain poleng dengan kekuatan hitam dan putih yang berdampingan dan saling
menjaga dalam gejolak yang mirip gelombang samudera.
Toh demikian, simbolika yang bernuansa kritik pun tampil di
pameran ini. Salah-satunya adalah karya Made Wiradana, “Tanah Harapan,
TanahImpian”. Disitu dia menampilkan
pulau yang tanahnya mulai
dikapling-kapling oleh orang-orang kaya dengan budaya yang baru. Ia lalu
berharap, warga lokal mau bergandengan tangan untuk menjaga milik mereka
sendiri. Dalam bahasa rupa yang lebih
vulgar, Made kaek menggambarkan para investor sebagai setan yang siap melahap
tebing-tebing dan pantai yang indah. “Kenyataannya kini setiap sudut dengan
pemandangan yang indah sudah mulai dimiliki oleh orang luar,” ujar Kaek.
Apapun yang ditampilkan
dengan gayanya masing-masing, menurut pengamat seni Wayan kun Adnyana,
memberikan sumbangan bagi kekayaan visual mengenai pulau ini. Apalagi bila
pameran memang ditujukan agar pulau ini makin dikenal oleh orang Bali sendiri maupun para turis. Dari
sisi perupa, tema dan obyek yang tunggal merupakan suatu tantangan karena
mereka harus lebih intens menggali wawasan dan menyesuaikan gayanya dengan
obyek itu. “Ada yang berhasil, tapi ada juga yang masih mentah,” ujar dosen ISI
Denpasar ini.
Penggunaan lukisan
sebagai promosi budaya dan pariwisata sendiri bisa berhasil bila ditujukan
kepada kalangan khusus yang terbiasa dengan pendekatan kontempaltif. Ini
berbeda dengan penggunaan foto. Meski sama-sama merupakan bahasa visual,
fotografi lebih memungkinkan bagi terjadinya interaksi tanpa harus melalui
proses itu. Para perupa harus mampu mentransformasikan kesan yang
ditangkapnya dalam bahasan rupa yang menyentuh benak dan perasaan para
penikmatnya. ROFIQI HASAN
Catatan : tulisan ini sudah dimuat sebelumnya di Koran Tempo
No comments:
Post a Comment