Aug 26, 2017

Eksplorasi Visual Nusa Penida


25 perupa Bali mengekplorasi Pulau Nusa Penida. Hasilnya, ada perayaan keindahan, mistifikasi hingga kritik sosial
Seekor Keker (Ayam Hutan) dari emas diyakini hidup di Nusa Penida, sebuah pulau kecil di selatan Bali. Cerita rakyat menyebut, para pemburu harta karun berkali-kali telah berusaha untuk menangkap hewan ini. Sampai di tahun 70-an, salah-satunya berhasil dijerat dan dibawa naik ke kapal. Malangnya, ditengah laut saat menyeberang menuju  Bali, kapalitu tersambar petir dan tenggelam.

Bagi perupa Putu Edy Asmara, cerita itu menjadi inspirasi untuk lukisannya yang diberi tajuk “Queen”. Dia menampilkan seekor ayam dengan rupa seorang gadis nan cantik bermahkotakan  dahan dan ranting pohon dengan latar belakang  langit hijau dan awan putih. Di sekelilingnya, ada cacing-cacing yang lucu.  “Keindahan pulau ini memang belum terlalu terungkap dibanding daerah lain di Bali,” ujarnya, Jum’at, 7 Juli 2017..
Karya Putu kini dipamerkan di Santrian Gallery Sanur, bersama karya 24 pelukis  lainnya yang tergabung dalam kelompok Militan Arts hingga 25 September  2017 nanti. Pameran ini unik karena dimulai dari ekplorasi bersama terhadap satu obyek dengan selama 2 hari tinggal di lokasi. Yakni, di Pantai Atuh, Nusa Penida. Disini, para seniman diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan warga sekitar serta menghirup  atmosfir pantai yang terhitung masih perawan meski mulai tersentuh oleh industri pariwisata.
Selama ini Nusa Penida sendiri dikesankan sebagai pulau yang sakral dan mistis dengan wilayah yang berbukit-bukit nan gersang.. Kondisi ekonomi warganya pun dianggap relatif ketinggalan dibandingkan dengan daerah lain di Bali.Kesan itu seperti terbantahkan melalui pameran ini. Dengan gayanya masing-masing, para perupa menampilkan sudut-sudut keindahan pulau ini. Seperti yang dilakukan Made Supena yang selama ini dikenal dengan lukisan abstraknya. Dia mengangkat keindahan terumbu karang di bawah laut dengan sapuan lembut warna putih di atas kanvas berlatar belakang pekatnya warna hitam. Supena yang sebelumnya lebih banyak mengekplorasi keindahan suasana pegunungan di saat fajar  mengaku, imajinasinya terseret ke kedalaman dasar laut.
Perupa Made Wiradana Menjelaskan Karyanya (Kubukopi/Ade Ahimsa)
Yang cukup khas menampilkan potensi pulau ini adalah lukisan Somya Prabawa. Dengan gaya realis, dia menampilkan ikan Mola-mola, spesies ikan yang tak ditemukan di tempat lain di Bali dan kini menjadi primadona wisata selam. Ada pula karya Ni Komang Atmi Kristiadewi dengan gaya dekoratif yang menampilkan detail kekayaan pulau ini dari dalam laut hingga lanskap pegunungannya. Ia melengkapinya dengan keceriaan anak-anak yang naïf yang berinteraksi dengan berbagai penghuni samudera.
Namun sebagian besar perupa   mengekpresikan kesan mereka melalui simbolika yang sudah biasa mereka olah. Seperti yang dilakukan pelukis wayang, Ketut Teja Astawa yang melihat pulau ini sebagai tempat pertarungan antara kekuatan-kekuatan mistis. Tebing-tebing pantai dan bukit-bukit yang menjulang adalah wahana bagi pencarian nilai spiritual dimana selalu terjadi bentrokan antara kebaikan dan keburukan. Kesan itu  yang muljuga ditangkap oleh Putu Bonuz Sudiana. Uniknya, dia adalah warga asli Nusa Penida sehingga sekaligus merupakan pelaku budaya yang intens. Bagi dia, pulau ini ibarat kain poleng dengan kekuatan hitam dan putih yang berdampingan dan saling menjaga dalam gejolak yang mirip gelombang samudera.
Toh demikian, simbolika yang bernuansa kritik pun tampil di pameran ini. Salah-satunya adalah karya Made Wiradana, “Tanah Harapan, TanahImpian”. Disitu dia menampilkan  pulau yang  tanahnya mulai dikapling-kapling oleh orang-orang kaya dengan budaya yang baru. Ia lalu berharap, warga lokal mau bergandengan tangan untuk menjaga milik mereka sendiri. Dalam bahasa rupa  yang lebih vulgar, Made kaek menggambarkan para investor sebagai setan yang siap melahap tebing-tebing dan pantai yang indah. “Kenyataannya kini setiap sudut dengan pemandangan yang indah sudah mulai dimiliki oleh orang luar,” ujar Kaek.
 Apapun yang ditampilkan dengan gayanya masing-masing, menurut pengamat seni Wayan kun Adnyana, memberikan sumbangan bagi kekayaan visual mengenai pulau ini. Apalagi bila pameran memang ditujukan agar pulau ini makin dikenal oleh  orang Bali sendiri maupun para turis. Dari sisi perupa, tema dan obyek yang tunggal merupakan suatu tantangan karena mereka harus lebih intens menggali wawasan dan menyesuaikan gayanya dengan obyek itu. “Ada yang berhasil, tapi ada juga yang masih mentah,” ujar dosen ISI Denpasar ini.
 Penggunaan lukisan sebagai promosi budaya dan pariwisata sendiri bisa berhasil bila ditujukan kepada kalangan khusus yang terbiasa dengan pendekatan kontempaltif. Ini berbeda dengan penggunaan foto. Meski sama-sama merupakan bahasa visual, fotografi lebih memungkinkan bagi terjadinya interaksi tanpa harus melalui proses itu. Para perupa harus mampu mentransformasikan kesan yang ditangkapnya  dalam bahasan rupa  yang menyentuh benak dan perasaan para penikmatnya. ROFIQI HASAN

Catatan : tulisan ini sudah dimuat sebelumnya di Koran Tempo 

No comments: