Aug 18, 2017

Duo Keras Kepala di Ubud Village Jazz Festival

Yuri Mahatma menyerahkan Lifetime Achievement Award kepada musisi senior, Benny Likumahua disaksikan Gung Anom (Rofiqi/Kubukopi)
KALAU ada event di Bali yang layak disebut menandai bulan Agustus, Ubud Village Jazz Festival salah-satunya. Di balik itu, ada dua figure yan bekerjakeras tentu dengan dukungan puluhan orang lainnya. Pernah nombok bukan hanya tenaga, tapi juga dana.

Maklumlah jazz bukan jenis musik yang cukup populer di negeri ini. Sering dianggap elitis dan sulit dimengerti. Tapi dua orang ini memang keras kepala. Musisi yang Nge-pop tak  mendapat tempat di event ini. Bahkan bila si artis dianggap punya nuansa jazzy dan bisa menjadi daya tarik buat pengunjung. “Bukan kita anti musik yang lain,  tapi kita percaya,  setiap panggung harus punya identitasnya sendiri,” ujar Yuri Mahatma, suatu kali.

Ide itu muncul dari pengalaman setelah hampir 15 tahun menjelajahi dan menikmati sejumlah festival di Indonesia dan luar negeri. Meski berlabel jazz, ternyata banyak yang terjebak untuk berkompromi dengan warna musik pop  demi menjaring penonton dan mendapat sponsor. Sebagian dengan alasan bahwa jazz terlalu rumit untuk dinikmati dan harus melalui tahap mendidik penonton.

Pilihan itu sempat mengundang protes dari sejumlah rekannya yang menganggap UVJF akan sulit bernafas panjang. Tapi Yuri percaya, justru kejelasan identitas yang  akan menjadi modal  membedakan festival ini dengan yang lain. “Kelayakan untuk dimasukkan dalam kategori jazzsendiri tidak terlalu rumit,” sebutnya. “Basisnya khan improvisasi, kalau 50 persen sisinya improvisasi ya sudah masuk itu,” jelas musisi kelahiran 15 Desember 1972 ini.

Yuri tak berjalan sendirian. Gagasan itu dilahirkannya bersama  AA Anom Wijaya Dharsana, seorang sound engineering yang tumbuh dengan pengalaman menangani sejumlah event jazz di Eropa. Sebelum melahrkan UVJF, keduanya telah menggagas gerakan Underground JazzMovement  di Bali untuk memperkenalkan jazz ke berbagai segmen dan komunitas, khususnya kalangan anak muda. Mereka ingin mendobrak mitos bahwa  jazz adalah musik yang elitis.

“UVJF pun sebenarnya adalah gerakan komunitas,” sebut Anom. Begitulah,  ketika pertama kali diluncurkan pada 2013, event ini 90 persen adalah hasil kerja gotong royong mulai dari musisi lokal, nasional dan luar negeri  hingga alat dan sound system yang tersedia. Konsep ini masih terus dipertahankan dengan melibatkan komunitas yang lebih luas seperti dari kalangan fotografer, komunitas peduli lingkungan, dan lain-lain.

Keberanian ini bukan tanpa resiko. Yang pasti, secara finansial UVJF belum bisa dibilang memberi untung apalagi Break Event Point (BEP). Dengan jumlah pengunjung sekitar 3000 orang per-evennya, penjualan tiket sponshorsip dan sewa stand belum bisa menutupi biaya produksi yang tahun 2016 mencapai kisaran Rp 800 juta. “Tapi kami beruntung dengan kesenangan menikmati jazz,” ujarnya. Tahun 2015, mereka malah menanggung kerugian hingga Rp 170 juta karena sejumlah musisi yang batal hadir karena peswatnya terhalang oleh letusan Gunung Raung.

 Soal tempat, mereka boleh dibilang beruntung karena mendapatkan venue di halaman barat museum ARMA yang  biasanya menjadi tempat pertunjukan tari Bali.  Di area seluas 1,5 ha itu  sudah terdapat satu panggung dengan lapangan rumput dimana  500 penonton dapat duduk nyaman menikmati penampilan band. Halaman ini pun cukup luas sehingga panitia bisa membuat satu lagi panggung kecil untuk  setting pertunjukan yang lebih kecil dengan penonton sekitar 100 orang. Satu panggung lagi  terpisah di area halaman dalam Museum dengan setting yang lebih akrab lagi.

Selain jazz, Yuri dan Anom sejak awal juga ingin menjadikan event ini sebagai aktivitas yang ramah lingkungan.  Itu ditunjukkan dengan kata Village, padahal dengan memakai nama  Ubud saja sebenarnya mereka  sudah mempunyai brand tersendiri. Konsep  itu lalu diterapkan dalam penataan area dan  panggung serta pengelolaan sampah selama acara berlangsung.

Penataan area event ini selalu berubah dari tahun ke tahun dengan nuansa yang berbeda. Pada tahun 2014 misalnya, saat memasuki arena, penonton diajak memasuki lorong yang cukup panjang sebelum sampai di area panggung. Lorong itu seperti sebuah pengantar imajiner untuk memasuki sebuah dunia lain yang di luar bayangan mereka.

Di tahun 2015, jalan masuk dibuat melingkar sehingga harus melewati area persawahan hanya dengan panduan obor-obor kecil di sepanjang jalan setapak. “Kita ingin, mereka bisa melepaskan diri dari bayangan pertanyaan, apa itu jazz,” ujar Anom. Pada tahun itu, konsep panggung terbuka juga dipenuhi oleh penggunaan bambu sebagai background  maupun asesori arena.

Konsep ini diubah lagi pada tahun 2016  dimana kehadiran pengunjung langsung disambut dengan nuansa persawahan yang kental. Panggung Giri, sebagai panggung utama dihiasi anyaman jerami dan padi dengan latar belakang video mapping mengenai alam Bali. Dua panggung yang lebih kecil juga dihiasi topi petani dan lelakut alias orang-orangan sawah untuk mengusir burung. “Bambu tak lagi digunakan karena pasca event terlalu banyak meningglkan sampah yang tak bisa digunakan,” kata Diana Surya, arsitek yang mensetting ruang dan panggung bersama rekannya Kelik Suwantara.

Paduan jazz dan suasana di Ubud itu itu ternyata menjadi resep yang ampuh untuk mengundang musisi dunia hadir di Bali. Sebagian diantaranya saling merekomendasikan supaya mau datang dan bermain meskipun secara komersial belum seuai dengan standar tarif mereka. Tahun ini misalnya, UVJF dihadiri Peter Bernstein dan Reuben Rogers yang sudah malang melintang di panggung dunia.

Saat Yuri mengkontak mereka atas rekomendasi musisi yang pernah tampil sebelumnya di UVJF, ternyata keduanya juga sudah mendapat informasi mengenai event ini. Yuri pun memberi sentuhan pribadi untuk membangun hubungan dengan mereka antara lain dengan menjemputnya sendiri di bandara . “Mereka senang karena bisa mendapat informasi yang utuh mengenai festival dan juga soal Bali,” sebut Yuri.

Di tahun 2017, UVJF sudah kembali digelar dan tahun depan tentu masih tetap dinanti. ROFIQI HASAN


Catatan : Versi asli tulisan ini dimuat di Majalah TEMPO, September 2016. Dimuat kembali di blog ini dengan sedikit modifikasi

No comments: