Yuri Mahatma menyerahkan Lifetime Achievement Award kepada musisi senior, Benny Likumahua disaksikan Gung Anom (Rofiqi/Kubukopi) |
KALAU ada event di
Bali yang layak disebut menandai bulan Agustus, Ubud Village Jazz Festival
salah-satunya. Di balik itu, ada dua figure yan bekerjakeras tentu dengan
dukungan puluhan orang lainnya. Pernah nombok bukan hanya tenaga, tapi juga
dana.
Maklumlah jazz bukan
jenis musik yang cukup populer di negeri ini. Sering dianggap elitis dan sulit
dimengerti. Tapi dua orang ini memang keras kepala. Musisi yang Nge-pop tak
mendapat tempat di event ini. Bahkan bila si artis dianggap punya nuansa
jazzy dan bisa menjadi daya tarik buat pengunjung. “Bukan kita anti musik yang
lain, tapi kita percaya, setiap panggung harus punya identitasnya
sendiri,” ujar Yuri Mahatma, suatu kali.
Ide itu muncul dari
pengalaman setelah hampir 15 tahun menjelajahi dan menikmati sejumlah festival
di Indonesia dan luar negeri. Meski berlabel jazz, ternyata banyak yang terjebak untuk
berkompromi dengan warna musik pop demi menjaring penonton dan mendapat
sponsor. Sebagian dengan alasan bahwa jazz terlalu rumit untuk dinikmati dan harus melalui tahap
mendidik penonton.
Pilihan itu sempat
mengundang protes dari sejumlah rekannya yang menganggap UVJF akan sulit bernafas
panjang. Tapi Yuri percaya, justru kejelasan identitas yang akan menjadi
modal membedakan festival ini dengan yang lain. “Kelayakan untuk
dimasukkan dalam kategori jazzsendiri tidak terlalu
rumit,” sebutnya. “Basisnya khan improvisasi, kalau 50 persen sisinya
improvisasi ya sudah masuk itu,” jelas musisi kelahiran 15 Desember 1972 ini.
Yuri tak berjalan
sendirian. Gagasan itu dilahirkannya bersama AA Anom Wijaya Dharsana,
seorang sound engineering yang tumbuh dengan pengalaman menangani sejumlah
event jazz di Eropa.
Sebelum melahrkan UVJF, keduanya telah menggagas gerakan Underground JazzMovement di Bali untuk memperkenalkan jazz ke berbagai segmen dan komunitas,
khususnya kalangan anak muda. Mereka ingin mendobrak mitos bahwa jazz adalah musik yang elitis.
“UVJF pun sebenarnya
adalah gerakan komunitas,” sebut Anom. Begitulah, ketika pertama kali
diluncurkan pada 2013, event ini 90 persen adalah hasil kerja gotong royong
mulai dari musisi lokal, nasional dan luar negeri hingga alat dan sound system
yang tersedia. Konsep ini masih terus dipertahankan dengan melibatkan komunitas
yang lebih luas seperti dari kalangan fotografer, komunitas peduli lingkungan,
dan lain-lain.
Keberanian ini bukan
tanpa resiko. Yang pasti, secara finansial UVJF belum bisa dibilang memberi
untung apalagi Break Event Point (BEP). Dengan jumlah pengunjung sekitar 3000
orang per-evennya, penjualan tiket sponshorsip dan sewa stand belum bisa
menutupi biaya produksi yang tahun 2016 mencapai kisaran Rp 800 juta. “Tapi kami
beruntung dengan kesenangan menikmati jazz,” ujarnya. Tahun 2015, mereka malah menanggung kerugian hingga
Rp 170 juta karena sejumlah musisi yang batal hadir karena peswatnya terhalang
oleh letusan Gunung Raung.
Soal tempat,
mereka boleh dibilang beruntung karena mendapatkan venue di halaman barat
museum ARMA yang biasanya menjadi tempat pertunjukan tari Bali. Di area seluas 1,5 ha itu sudah terdapat satu panggung dengan lapangan rumput dimana
500 penonton dapat duduk nyaman menikmati penampilan band. Halaman ini
pun cukup luas sehingga panitia bisa membuat satu lagi panggung kecil
untuk setting pertunjukan yang lebih kecil dengan penonton sekitar 100
orang. Satu panggung lagi terpisah di area halaman dalam Museum dengan
setting yang lebih akrab lagi.
Selain jazz, Yuri dan Anom sejak awal juga ingin
menjadikan event ini sebagai aktivitas yang ramah lingkungan. Itu
ditunjukkan dengan kata Village, padahal dengan
memakai nama Ubud saja sebenarnya
mereka sudah mempunyai brand tersendiri. Konsep itu lalu diterapkan
dalam penataan area dan panggung serta pengelolaan sampah selama acara
berlangsung.
Penataan area event
ini selalu berubah dari tahun ke tahun dengan nuansa yang berbeda. Pada tahun
2014 misalnya, saat memasuki arena, penonton diajak memasuki lorong yang cukup
panjang sebelum sampai di area panggung. Lorong itu seperti sebuah pengantar
imajiner untuk memasuki sebuah dunia lain yang di luar bayangan mereka.
Di tahun 2015, jalan
masuk dibuat melingkar sehingga harus melewati area persawahan hanya dengan
panduan obor-obor kecil di sepanjang jalan setapak. “Kita ingin, mereka bisa
melepaskan diri dari bayangan pertanyaan, apa itu jazz,” ujar Anom. Pada tahun itu, konsep panggung
terbuka juga dipenuhi oleh penggunaan bambu sebagai background maupun
asesori arena.
Konsep ini diubah lagi
pada tahun 2016 dimana kehadiran
pengunjung langsung disambut dengan nuansa persawahan yang kental. Panggung
Giri, sebagai panggung utama dihiasi anyaman jerami dan padi dengan latar
belakang video mapping mengenai alam Bali. Dua panggung yang lebih kecil juga
dihiasi topi petani dan lelakut alias orang-orangan sawah
untuk mengusir burung. “Bambu tak lagi digunakan karena pasca event terlalu
banyak meningglkan sampah yang tak bisa digunakan,” kata Diana Surya, arsitek
yang mensetting ruang dan panggung bersama rekannya Kelik Suwantara.
Paduan jazz dan suasana di Ubud itu itu ternyata menjadi resep yang
ampuh untuk mengundang musisi dunia hadir di Bali. Sebagian diantaranya saling
merekomendasikan supaya mau datang dan bermain meskipun secara komersial belum
seuai dengan standar tarif mereka. Tahun ini misalnya, UVJF dihadiri Peter
Bernstein dan Reuben Rogers yang sudah malang melintang di panggung dunia.
Saat Yuri mengkontak
mereka atas rekomendasi musisi yang pernah tampil sebelumnya di UVJF, ternyata
keduanya juga sudah mendapat informasi mengenai event ini. Yuri pun memberi
sentuhan pribadi untuk membangun hubungan dengan mereka antara lain dengan
menjemputnya sendiri di bandara . “Mereka senang karena bisa mendapat informasi
yang utuh mengenai festival dan juga soal Bali,” sebut Yuri.
Di tahun 2017, UVJF
sudah kembali digelar dan tahun depan tentu masih tetap dinanti. ROFIQI HASAN
Catatan : Versi asli tulisan ini dimuat di Majalah TEMPO,
September 2016. Dimuat kembali di blog ini dengan sedikit modifikasi
No comments:
Post a Comment