Aug 18, 2017

Belajar Nge-Jazz di Ubud Village Jazz Festival

HIDUP itu seperti jazz. Irama yg beraneka. Silih berganti. Kadang saling mengisi, sering seperti bertabrakan tapi sejatinya tetap dalam harmoni. Dari yg lambat mengalun, lincah merayu hingga yg kuat menghentak.

Lo kok tiba tiba sok tahu soal jazz, padahal khan fanatikus Oma Irama?. Semua bermula dari event Ubud Village Jazz Festival (UVJF). Sejak pertama kali digelar pada 2013 , acara ini melatih telinga saya untuk mengakrabi jazz.  Sebagian untuk kebutuhan pekerjaan, selebihnya adalah untuk kesenangan pribadi.

Tahun ini agak istimewa sebab panitianya memilih warung Kubukopi milik saya (ehem..) utk jadi tempat Jumpa Pers. Kata Gung Anom, si empunya event tempat saya Cozy, enak buat nongkrong dan ngobrol santai . (Wadeh Malah promo).

Nah, saat jumpa pers itulah saya mengungkapkan kegundahan karena merasa belum punya definisi yg tepat mengenai jazz dan tentu berakibat pada cara menikmati jazz. Jawaban Yuri Mahatma, si penggagas UVJF, ternyata simple banget. Kurang lebihnya, “jazz itu bukan untuk dimengerti tapi untuk dinikmati”. Lah, masalahnya saya khan mesti mentransform kenikmatan itu ke sebuab tulisan to om. Saya ini wartawan tulis bukan tv atau radio. Agak susah jadinya, karena kata Yuri, ya mesti jadi musisi biar ngerti teori musiknya. Jiahhh…

UVJF Crew st Press Conference
Tapi Yuri kemudian memberi jalan keluar. Jazz itu pokoknya adalah kebebasan berekspresi. Disitu ada patokan, tapi di atas panggung musisi bisa memberi interpretasi bebas dan berdialog dengan sesama musisi dengan alat musik yang berbeda. 

Batasan itu pula yang menjadi patokan UVJF menentukan musisi yg bisa tampil di ajang ini. Gung Anom dan Yuri, cukup keras kepala untuk tak mengundang musisi yg  populer dan dianggap jazzy tapi sebenarnya mereka sudah tak.mampu berekspresi. 

Sepertinya sikap keras kepala inilah yg harus ditularkan kepada siapapun yg akan terjun sbg penikmat jazz. Tanpa kemampuan untuk membebaskan diri dari jerat pikiran, perasaan dan memori masa lalu maka akan sulit menikmati kebebasan dalam jazz.

Saya sendiri percaya seluruh sel tubuh, imajinasi dan emosi kita memiliki memori tentang bunyi. Ia  hanya bisa terungkapkan kembali dalam kemampuan menikmati ekspresi,  komposisi dan harmoni ketika kita mampu membebaskan diri dari belitan bunyi yg menindas kita hari ini. Kalau dilihat sejarahnya, konon jazz adalah sebuah model ekspresi orang orang kulit hitam yang dijadikan budak dimana mereka membutuhkan medium untuk melepaskan diri dari himpitan kenyataan.

Karena itu jazz adalah pemberontakan, adalah pembebasan. ROFIQI HASAN

No comments: