Dec 25, 2011

Jalan Terjal buat Geothermal

15 tahun menanti, geothermal Bedugul masih terkatung-katung. Energi bersih yang ditolak aktivis lingkungan.


Suara mesin mendengking pelan membelah kesunyian hutan di kawasan Bedugul, Tabanan Bali. Bunyi itu mengiringi asap putih yang keluar dari sumur pengeboran panas bumi milik PT Bali Energy Limited (BEL). Meski belum melakukan proses produksi, sumur yang menerobos lapisan kerak bumi hingga 2800 meter itu memang tetap difungsikan untuk tujuan pemeliharaan.



Sumur yang tersebar di tiga titik dan letaknya masuk sekitar 1 km ke kawasan hutan itu menjadi bukti adanya potensi panas bumi. Yakni, di lokasi yang berada pada ketinggian sekitar 1.250 meter dari permukaan laut itu. “Kita perhitungkan bisa mencapai kapasitas maksimal 400 MW.Tapi segi kelayakan ekonomis kemungkinan hanya mencapai 175 MW,” kata Coorporate Secretary PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Adiatma Sardjito yang menguasai konsesi pengelolaan lahan di kawasan itu.



Proyek yang berjarak 75km dari Denpasar dan hanya 1 km dari obyek wisata Danau Beratan itu sudah mulai dieksplorasi sejak 1995. PGE memberikan hak pengelolaannya kepada PT Bali Energy Limited (BEL). Mereka telah menguasai lahan hingga 25 ha selama jangka waktu 30. Namun pada tahun 1998 akibat badai krisis, proyek terpaksa dihentikan. Saat itu, 18 ha lahan sudah dibuka untuk untuk pembangunan infrastruktur jalan dan 3 sumur pengeboran sebagai percobaan. Keberadaan ketiganya yang masing=masing sumur membutuhkan lahan sekitar 1 ha itu sebenarnya sudah bisa menghasilkan hingga 7 MW.

Baru pada tahun 2002 , proyek ini akan dilanjutkan kembali. Namun ijin untuk pemanfaatan lahan tambahan seluas 6 ha terganjal oleh belum adanya ijin dari Menteri Kehutanan. Menteri tak bisa mengeluarkannya karena Gubernur Bali saat itu Dewa Made Beratha menolak memberikan rekomendasi setelah berbagai kalangan masyarakat dan DPRD Bali menentang proyek itu.

Kalangan LSM Lingkungan yang dimotori Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bali khawatir , proyek itu merusak kawasan Bedugul yang merupakan daerah resapan air bagi Bali. Ada juga alasan spiritual yang diajukan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dimana hutan itu merupakan kawasan suci bagi umat Hindu.

Pada akhir 2010 , PGE berusaha kembali melancarkan rayuan kepada DPRD dan Gubernur Bali agar proyek ini diberi lampu hijau. Alasan baru yang diajukan adalah , panas bumi merupakan sumber energi yang menjadi prioritas pemerintah saat ini. Cadangan minyak bumi semakin menurun dan subsidinya kian memberatkan.

Geothermal dipandang paling ramah lingkungan karena sangat kecil efeknya pada pemanasan global. Dalam skema pemenuhan energi nasional diharapkan pada tahun 2025, 25 % energi yang diigunakan adalah energi renewable salah-satunya adalah geothermal.

Bagi pihak PGE, posisi yang tidak jelas itu sangatlah merugikan. Paling tidak dalam setahun, mereka harus merohoh kocek untuk biaya pemeliharaan hingga Rp Rp 1,2 milliar. Di lokasi itu, PGE memang masih menempatkan 16 personil untuk pengamanan, pemeliharaan dan tenaga produksi.

Ada ancaman lain bilaproyek dihentikan, yakni akan ada tuntutan atas proyek yang investasinya mencapai 53,4 juta US Dolar itu."Sebelumnya Pertamina terpaksa membayar ganti rugi ratusan juta dolar karena penghentian proyek di Dieng dan Karaha Bodas," Adhiatma. Di sisi lain, bila proyek ini bisa dilangsungkan, maka Pemerintah Provinsi Bali akan mendapat pendapatan dari bagi hasil penghasilan Sumber Daya Alam. Dia mencontohkan, setiap tahunnya PGE menyalurkan dana hingga Rp 700 milliar untuk Pemprov Jabar dan sejumlah kabupaten atas beroperasinya PLTP Gunung Salak dan Kamojang. Untuk soal lingkungan, mereka menjanjikan reboisasi hutan 2 kali lipat dari lahan yang dibuka.



Yang mengejutkan, pada saat pertemuan, dua pemimpin umat Hindu paling terkemuka Ida Pedanda Made Gunung dan Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa juga turut serta. Keduanya menyampaikan isyarat bahwa tidak ada masalah bila proyek ini dikaji ulang. “Bukan persoalan mendukung, tetapi masyarakat Bali harus diberi kesempatan mempelajari alternatif energi yang bersih dan ramah lingkungan,” ujar Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa ketika dikonfirmasi ulang, Senin (5/12). Ketua Dharma Adyaksa (Dewan Kependetaan-red) Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat ini juga menekankan kepastian bahwa warga lokal di sekitar lokasi akan mendapat manfaat dari proyek ini.

Pihak yang masih tetap dalam posisi menolak adalah LSM WALHI. “Proyek itu nantinya akan terus membuka lahan dengan berbagai alasan,” kata koordinator WALHI Bali Wayan Suardana. Perubahan peruntukan lahan di hutan lindung sudah pasti mengancam ketersediaan pasokan air bagi Bali karena hutan itu merupakan satu-satunya penampungan bagi Bali. Untuk mengatasi masalah listrik, dia mendesak Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menekan industri hotel agar menerapkan efisiensi dan membuat power plant mandiri. “Mereka itu yang plaing rakus listrik,” ujarnya.

Alasan Gendo sejalan dengan penolakan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Bali. “Kami khawatir akan ketersediaan air di Bali,” kata Kepala Dinas Kehutanan Bali I Gusti Ngurah Wiranatha. “Berdasarkan kajian ekologis, kami memastikan kawasan hutan lindung Bedugul merupkan posisi geologis tertinggi di Bali. Bila dilakukan eksplorasi maka seluruh ekosistem yang ada akan rusak struktur geologis pun akan sangat berpengaruh,” ujarnya.



Kebuntuan proyek ini tak urung membuat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jro Wacik jengkel. Apalagi bukan hanya di Bedugul proyek yang menjadi bagian dari program penyediaan listrik hingga 10 ribu Megawatt itu terhadang. “Geothermal umumnya memang berada di hutan lindung,” ujarnya. Karena itu, dia telah melobi Menteri kehutanan untuk memastikan ijin bagi 28 titik eksplorasi. “Termasuk di Bedugul,” ujarnya.



Wacik menegaskan, potensi panas bumi di Indonesia sebenarnya sangat besar karena mencapi 40 % dari potensi panas bumi dunia. Listrik dari panas bumi juga sangat murah , yakni hanya sebesar 9 sen US Dolarper kwh. Jauh lebih murah dibandingkan harga listrik dari panas bumi yang mencapai 40 sen US Dolar per kwh.



Bali , tegas dia, membutuhkan energy alternatif untuk mengatasi krisis listrik yang sudah terjadi saat ini. Kebutuhan listrik di Bali telah mencapai 532 MW saat beban puncak dan akan mencapai beban puncak 1.248 MW pada 2019 dengan asumsi pertumbuhan kebutuhan lsitrik9,2 %. Saat ini pasokan listrik baru mencapai 634 MW . Masalah terus muncul bila pembangkit sedang mengalami perbaikan atau adanya gangguan pasokan kabel listrik bawah laut dari Jawa yang menyuplai 200 MW ke Bali.



Bagi warga yang berada di lokasi proyek, seluruh polemik itu sebenarnya tidak terlalu penting. “Kami menunggu kepastian saja. Kalau memang mau dihentikan ya secepatnya saja. Sebelum menimbulkan masalah baru,” kata Bendesa Adat Bukit Catu I Wayan Puja Umbara yang membawahi wilayah itu.



Pihaknya menginginkan agar proyek itu bisa direalisasikan karena akan membantu penyediaan lapangan kerja dan menggerakan ekonomi lokal . Mereka pun tidak pernah merasa terganggu oleh pelaksanaan proyek. Tapi setelah terlalu lama berharap, mereka memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. ROFIQI HASAN



Catatan : Tulisan ini sudah dimuat di Majalah Tempo edisi awal Desember

No comments: