Aug 8, 2011

Saat Memenjor Jadi Bisnis



Hari raya Galungan dan Kuningan di Bali telah berlalu. Tetapi  penjor masih gampang ditemukan di sudut-sudut Bali.  Sebagian malah berdiri tegak menghiasi jalanan dengan berbagai hiasan dan asesoris yang menawan. Seperti milik  I Wayan Werda,  pemilik usaha Dewata Penjor di Banjar Anyar Kaja, Jalan Raya Canggu, Denpasar.

Berukuran raksasa setinggi 14 meter, penjor yang dibebat ukiran daun lontar  itu lengkap dengan sanggah  tempat menaruh aneka sesaji. Ini memang jenis penjor untuk kepentingan  ritual, yakni untuk menandai kemenangan Dharma (kebaikan-red) atas Adharma alias kejahatan dan mulai   dipasang sehari menjelang   Galungan hingga 40 hari setelahnya.
Sesuai ketentuan,  bagian bawahnya  dihniasi Pala Bungkah ( umbi-umbian) misalnya ketela rambat,ketela pohon. Ada juga  Pala gantung (buah-buahan) misalnya buah kelapa,buah mentimun,jeruk pisang. Kemudian  Pala Wija (biji-bijian) misalnya jagung, padi,  Plawa (daun-daunan)’jajan. Di bagian sasap ditaruhlah  uang bolong 11 kepeng.
Di ujung bambu yang melengkung dipasanglah Sampian berbentuk Lotus yang asyik meliuk-liuk dimainkan  angin. Pada bagian itu juga terdapat kain putih dengan simbol Omkara (Tuhan-red) berkibar-kibar. “Patokan untuk membuatnya sudah jelas,” kata Werda. Setelah dipasang, penjor akan diupacarai dengan memercikkan air yang sudah disucikan oleh pendeta.
Selain membuat untuk dirinya sendiri, pria yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu, juga membuat berdasarkan pesanan. Maklum, saja tak semua orang mampu membuatnya sendiri  atau punya cukup waktu. Setiap kali Galungan, ia membuat sekitar 50 penjor dengan harga antara Rp 500 ribu hingga Rp 7 juta tergantung tingkat kerumitannya.  
Di luar Galungan, Werda juga banyak menuai pesanan. Yakni untuk membuat penjor bagi aneka acara seperti ulang tahun, penyambutan tamu hingga meresmikan gedung. Sejumlah hotel besar di Bali menjadi pelanggannya seperti Bali Intercontinental milik Surya Paloh, Ayana Resort hingga Bali Nirwana Resort milik Aburizal Bakrie.  Penjor yang dibuatnya itu  masuk dalam kategori kreasi dimana aturan-aturan adat tak perlu dipegang lagi. Karena itu jenis hiasannya lebih bervariasi mulai patung-patung, gantungan kaca dan lain-lain.
Werda termasuk pengrajin senior untuk kreasi penjor ini. Ia sudah menekuninya sejak tahun 90-an. Padahal pada saat itu, orang masih cenderung membuat sendiri atau bergotong rotong. “Banyak yang menganggap saya orang aneh,” ujarnya.  Tapi berbekal kepercayaan bahwa suatu hari orang akan makin sibuk dengan pekerjaannya, dia pun maju terus. Terbukti usahanya makin dibutuhkan apalagi dengan aneka kreasi yang menawan.
Ia bahkan sudah menghasilkan 3 orang murid yang  kemudian mengembangkan usahanya sendiri. Selain itu, gaya penjornya banyak ditiru orang. “Saya biarkan saja karena ketrampilan ini adalah warisan leluhur yang tak boleh dimonopoli,” ujarnya. Ia sendiri sudah mengembangkan ketrampilannya untuk membuat aneka hiasan adat Bali yand diperlukan di upacara-upacara adat.
Dari segi bahan, Werda termasuk pionir untuk menggunakan daun lontar sebagai penghias penjor yang sebelumnya lebih banyak memakai janur. Lontar diperoleh awalnya dari  Tianyar, Karangasem tetapi kini juga didatangkan dari Jawa Timur, Sulawesi hingga Sumba, Nusa Tenggara Timur. Dibanding Janur, lontar bisa bertahan lebih lama warna maupun kualitasnya. Apalagi bila direndam dengan cairan ritrid sebelum dikeringkan.
Selain Werda, kini telah bermunculan pengusaha baru yang menekuni usaha ini. Di Denpasar misalnya, ada nama  Made Mangku, 25 tahun,  yang mendirikan usaha  Bale Bali Penjor. Ia yang tinggal di banjar Kaliungu, Denpasar ini m emulai usaha sejak 3 tahun lalu. “Karena makin banyak banyak tetangga yang sudah tidak sempat lagi membuat penjor pada saat hari raya Galungan,” ujarnya.  Ia sendiri secara pribadi kadangmerasakan kebosanan ketika membuat penjor. “Saya pilih melarikan diri  ketika disuruh orang tua buat penjor,” ujarnya.
Ketika memulai usaha dengan modal Rp 150 ribu, Banyak yang menertawakan termasuk orang tuanya. Tapi kemudian makin dikenal dan disenangi karena penjor buatannya rapi dan banyak kreasinya. Kemudian penjornya diminta bukan hanya saat Galungan tetapi juga untuk upacara perkawinan, perayaan ulang tahun dan kebutuhan lain. Sejumlah instansi pemerintah menjadi pelanggaannya saat perayaan 17 Agustus atau Ultah kota Denpasar. Mangku  yang cuma lulusan SMU menyebut, belajar membuat penjor dari pengalaman saja.
Omzetnya paling tinggi kalau menjelang Galungan. Bisa 150 Penjor dalam satu bulan. Kalau hari biasa sebulan bisa 10-20 penjor. Harga penjor sangat variatif,. Bisa dari 150 ribu hingga harga jutaan. Itu tergantung kebutuhan dan kreasi yang dibutuhkan. Yang paling sederhana biasanya hanya untuk menandai lokasi kegiatan saja. “Kalau yang benar-benar untuk hiasan biasanya jauh lebih mahal. Ini menandai gengsi pemiliknya,” ujarnya.
Untuk baham bambu diambilnya dari Bangli dan Tabanan. Tidak ada aturan khusus asal bentuknya melengkung di ujungnya. Bahan lain adalah daun lontar yang didatangkan dari Sumba. Dia pun menjadi  pemasok untuk kebutuhan lontar di denpasar . “Setiap 3 bulan bisa datangkan 5.000 pucuk dengan harga Rp 25 juta,” katanya.
Pengamat budaya Bali Nyoman Darma Putra menilai, perubahan penjor dari produk tradisi menjadi komoditi itu merupakan hal yang wajar. “Penjor memasuki era komodifikasi, artinya penjor dianggap dan diperlakukan sebagai komoditas yang diperjual-belikan,” katanya.  Dulu penjor dibuat bersama, gotong royong, kini bisa dibeli atau mengggunakan jargon dari komodifikasi industri kerajinan dalam jagat pariwisata, 'made to order'.
Buru besar Fakultas Satra Universitas Udayana itu menybeut, dalam masyarakat modern dan kini global, spesialisasi dan profesionalisme juga penting. Orang yang memerlukan penjor tidak harus membuat sendiri, kalau membuat tidak punya waktu, kalau punya waktu belum tentu mudah mencari bahan, kalau bahan tersedia, belum tentu terampil seperti diangankan. Dalam situasi demikian, membeli penjor adalah solusi tidak terelakkan.

No comments: