Mar 6, 2011

Release WALHI Bali : Dipertanyakan Legalitas dan Kredibilitas Pansus RTRWP Bali

Denpasar – Debat tentang perlu atau tidaknya revisi terhadap Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali terus bergulir. Namun argumentasi yang mendasari lebih pada permasalahan suka atau tidak suka terhadap ketentuan Perda yang baru seumur jagung tersebut.

Padahal Perda RTRW sendiri merupakan produk hukum yang tidak berdiri sendiri sehingga argumentasi yang disampaikan seharusnya barbasis pada logika dan asas hukum yang ada. Demikian dikatakan Agung Wardana, mantan Direktur WALHI Bali ini dalam menyoroti pembentukan Pansus DPRD Bali dalam mengkaji perda (6/03/11).
Menurutnya, peninjauan kembali, termasuk didalamnya melakukan pengkajian, terhadap rencana tata ruang yang sudah ditetapkan hanya dapat dilakukan sekali dalam lima tahun. Pengecualian atas ketentuan ini, sesuai dengan PP 15/2010 Pasal 82, apabila telah terjadi perubahan lingkungan strategis, seperti bencana alam yang besar, perubahan territorial negara atau perubahan batas wilayah.

Dalam konteks provinsi, Agung menjelaskan bahwa peninjuan kembali dapat dilakukan apabila ada perubahan kebijakan nasional dan dinamika pembangunan yang bersifat mendasar. Namun demikian, Pasal 91 PP 15/2010 maupun Perda 16/2009 dengan jelas menyatakan bahwa peninjauan kembali tidak dapat dilakukan dalam rangka melakukan pemutihan terhadap penyimpangan dalam pemanfaatan ruang.

Jadi atas dasar apa pengkajian oleh Pansus RTRW Bali ini dilakukan? Jika dilihat dari arahnya untuk merubah radius kesucian pura dan sempadan pantai yang selama ini banyak dilanggar, maka jelas tindakan Pansus ini merupakan upaya pemutihan. Dengan demikian bertentangan dengan Pasal 91,” ungkap Agung yang juga mantan anggota tim Pengkaji dan Penyusun RTRWP Bali tahun 2009 lalu.

Selain itu, ia juga menyampaikan keraguannya terhadap kredibilitas anggota pansus. Hal ini karena banyak kasus dugaan pelanggaran tata ruang di wilayah dimana anggota pansus ini berasal dan tidak ada upaya konkrit untuk mencegahnya. Misalnya di wilayah Badung Selatan ada Panorama Hill, villa Uluwatu, di wilayah Tabanan ada villa Kelating dan Bali Healing.

“Kemana saja mereka dan apa sikap mereka terhadap kasus pelanggaran yang ada selama ini? Jika dirumahnya sendiri banyak pelanggaran, apakah kita bisa tumpukan harapan kepada mereka untuk bisa adil dalam mengambil keputusan demi menyelamatkan Bali?” sindirnya.

Ketika ditanya terkait kemungkinan Perda RTRW berlaku surut, Agung menyampaikan bahwa aturan hukum memang tidak seharusnya berlaku surut. Namun, paska pemberlakuan UU 26/2007, Perda 16/2009, PP 26/2008 dan PP 15/2010 yang digunakan bukan istilah pembelakuan surut tetapi penyesuaian terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai aturan yang baru.

Lanjutnya, “ada masa transisi selama 3 tahun untuk dilakukan penyesuaian. Apabila pemanfaatan yang tidak sesuai aturan tersbut telah memiliki ijin secara benar, maka pemiliknya akan diberikan kompensasi yang layak.”

Secara prinsip, penataan ruang bersifat hirarkis. Jadi jika ada yang menolak tata cara peninjauan kembali dan masa penyesuaian yang diatur dalam Perda RTRWP Bali, maka sebaiknya mereka merubah atau membatalkan UU 26 Tahun 2007 terlebih dahulu.

“Jadi, merupakan tindakan yang salah alamat untuk mengobrak-abrik Perda RTRW Bali yang jelas-jelas mengikuti aturan yang ada diatasnya,” ungkap aktivis yang saat ini sedang menempuh studi hukum internasional di salah satu universitas terkemuka di Inggris. (habis)

No comments: