Mar 18, 2011

Arsip Lama : Bom Bali dan Nama Anak Saya

 Hari ini anak saya yang kedua berulangtahun yang ke-6. Namanya Ade Gita Ahimsa.  Anak itu sepertinya akan tinggi besar dan tentu saja ganteng seperti bapaknya (narcis!).  Tapi bagian yang paling saya suka adalah kisah dibalik nama yang saya berikan itu.
Begini ceritanya. Dia itu lahir saat saya sedang sibuk-sibuknya meliput penangkapan dan penyidikan kasus bom Bali di awal tahun 2003. Hari demi hari, saya mesti nongkrongin Polda Bali,Kejaksaan dan sebisa mungkin menguntit kemanapun para bomber itu dibawa polisi.  Dari tokoh utama – Imam Samudera, Amrozi, Ali Gufron- hingga para pemeran pembantunya. Nah, setiap kali  mereka bertemu wartawan, khususnya Imam Samudera,  bisa dipastikan mereka akan meneriakkan takbir “Allahu Akbar, Allahu Akbar “  dengan bersemangatnya.  Dalam kilatan blits fotografer dan suara wartawan yang berebut meluncurkan pertanyaan, mereka seakan   merasa mendapat panggung untuk menyatakan diri sebagai pahlawan yang memperjuangkan sebuah kebenaran.
Bagi saya teriakan itu menghadirkan sebuah dilema besar . Sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan di kalangan santri,  takbir  adalah seruan yang luar biasa bagi saya. Dalam tradisi saya itu, takbir adalah sebuah seruan yang suci dan menggetarkan. Pikiran dan perasaan  seolah dapat terhipnotis untuk menyatu dengan konsep abstrak tentang sesuatu yang  Maha Besar dan agung.  Mungkin karena pembiasaan yang terus menerus   dilakukan bahkan sejak kelahiran saya.  Dalam tradisi agama saya, Islam,  adzan dimana takbir adalah bagian penting di dalamnya adalah suara pertama yang diperdengarkan kepada bayi yang baru lahir. Di masa lalu bahkan saya adalah seorang Muadzin (orang yang menyurakan adzan- panggilan Sholat) karena bapak saya adalah seorang imam di masjid yang tepat berada di depan rumah saya.
 Maka bagi saya, teriakan para teroris seperti sebuah seruan untuk membangkitkan masa lalu saya. Meskipun masa itu sudah lewat sangat lama, tapi sel-sel ingatan saya sebagian tentu masih menyimpannya. Belum lagi jaringan keluarga dan kerabat yang hingga kini masih berada dalam tradisi itu.  Seruan itu seperti ajakan untuk mengidentifikasikan kembali sebentuk romantisme masa lalu tentang keyakinan yang  membedakan hitam dan putih. Keyakinan yang pernah ditanamkan sangat dalam di hati saya. (Karena itu sampai sekarang saya selalu khawatir dengan tayangan Televisi yang berulang-ulang menampilkan mereka terutama saat meneriakkan takbir karena saya yakin banyak orang yang bisa mengalami getaran batin seperti saya).
Di sisi lain, keterlibatan dalam peliputan peledakan bom Bali sejak hari pertama, telah memberi saya guncangan yang luar biasa. Menyaksikan mayat-mayat berserakan, suara tangis dan erangan, jasad yang hangus terbakar ditambah wawancara dengan para janda, anak-anak yatim yang sebagian juga adalah muslim telah menorehkan luka bagi diri saya. Saya sungguh tak bisa membayangkan manusia dengan keyakinan macam apa yang sanggup melakukan perbuatan dengan akibat semacam itu. Siapapun sasaran mereka yang sebenarnya, perbuatan itu sungguh terkutuk dan tak bisa dimaafkan.
Maka setiap kali bertemu dengan mereka,  pertarungan  antara masa lalu dan kekinian saya terjadi. Di ruang pikiran, perasaan dan nurani saya.  Seringkali saya mengalami demam karena sentiment masa lalu. Tapi sekaligus benci karena bayangan darah yang menggenangi kenangan itu. Yang lebih buruk lagi adalah keyakinan saya yang goyah. Munculnya pertanyaan-pertanyaan besar yang berujung pada keraguan, adakah  saya dibesarkan  dalam tradisi yang salah.
Tetapi semakin jauh saya semakin sadar. Para terpidana itu sama sekali tidak mewakili tradisi dan keyakinan saya. Mereka telah ‘menunggangi” simbol dan ekspresi itu.  Kaum sempalan yang menegakkan keyakinan dengan kekerasan. Lebih buruk lagi karena menyatakan perang di daerah  damai.  Baiklah, saya sebut, mereka adalah orang-orang yang sakit . Orang-orang yang dihantui oleh memori  akan  perang di Afghanistan, Irak dan Palestina lalu memindahkannya ke tempat yang salah.  Kelompok inferior yang merasa keyakinannya disudutkan padahal keterpinggiran itu  karena kesalahan mereka sendiri yang dihinggapi watak megalomania dalam kenyataan yang serba kekurangan. Ditambah pikiran yang tertutup serta kemalasan melihat sisi kebaikan kelompok lain yang berbeda dengan mereka.
Ketika anak saya lahir , saya merasa perlu menegaskan posisi saya itu. Karena itu saya pilih nama Ahimsa (Tidak Membunuh atau Anti Kekerasan).  Ini adalah ajaran Mahatma Gandhi yang saya sukai. Rangkaian nama itu bertambah dengan Gita. Ini sebetulnya adalah pesanan dari Kakak ipar saya, yang meminta nama depan ibu dari istri saya (ruwet deh) Gito Prayitno  digunakan jadi nama keluarga. Tapi bagus juga karena Gita bisa berarti kidung /nyanyian suci .
Bila disambung   nama itu menjadi Gita  Ahimsa dan  bisa diartikan menjadi “Kidung Anti kekerasan atau Kidung Perdamaian”. Adapun nama “Ade” adalah plesetan dari kata adik untuk menandai bahwa dia mempunyai seorang kakak. (Kakaknya itu bernama Fatima Gita Elhasni, suatu hari saya akan bercerita mengenai rahasia dibalik nama itu).  
Saya berharap suatu hari anak saya akan bangga membaca tulisan ini. Sekarang dia baru bangga karena ada artis cantik bernama Gita Gutawa. “Jadi dia itu saudara kita ya pa?”, tanyanya. “Ya iyalah,” jawab saya mantap!. 

2 comments:

Anonymous said...

Suka sekali history kasih namanya ....well well .....

Anonymous said...

apa yang saya cari, terima kasih