Feb 12, 2011

SURVEI PEMBERITAAN MEDIA TENTANG KONTROVERSI REVISI RTRW

Salam, untuk memberi masukan kepada wartawan dan media massa mengenai pemberitaan mereka tentang kontroversi RTRW, silahkan untuk menentukan pilihan sesuai penilaian anda dengan menuliskannya di ruang comment tautan ini atau di fesbuk :



1. Media Netral dan berimbang
2. Media  memahami masalah
3. Media Mendorong solusi
4 .Media Memihak
5. Media  Tidak Paham masalah
6. Media Memprovokasi

Anda boleh mencantumkan lebih dari satu pilihan. Bisa juga melengkapi dengan alasan penilaian itu. Disediakan hadiah menarik untuk 5 pilihan dan komentar terbaik.




3 comments:

Rofiqi Hasan said...

halo cek neh

Biorock Pemuteran Buleleng said...

Media tidak paham masalah, wajar jika kemudian ''beritanya?'' memprovokasi dan jelas memihak.

Saran saya, jika memang kita komit menjadi jurnalis, please siapkan waktu untuk menambah pemahaman kita dengan ikut mendengar, menyimak saat seseorang memberikan informasi, presentasi apalagi pembahan hal- hal terkait informasi publik. Maaf.

Rofiqi Hasan said...

NEW SOCIAL ENGINEERING UNTUK BALI

Saya berpendapat, media tidak faham masalah. Ini terlihat dari sajian berita sejak Maret – April 2009 lalu ketika RTRWP masih dalam bentuk Rancangan Perda. Saat itu, ada media yang memuat berita mirip dalam lebih dari sekali muat.
Kedua, berita yang ditampilkan sangat miskin visi. Artinya hendak kemana opini diarahkan tidak jelas. Sebagian wartawan bahkan mengaku hanya menunggu mana yang lebih konsisten sehingga ia hanya mejadipenonton dan bukan seorang education media. Berita-berita itu juga sangat miskin kajian sosiologis masyarakat Bali dengan sejarah panjangnya hingga menjadi seperti sekarang, khususnya berkenaan dengan kesucian pura.
Akibatnya, pemberitaan RTRWP Bali ini disamakan begitu saja dengan berita lainnya. Media tidak menyajikan secara cerdas apa yang akibat serius pelanggaran tata ruang terhadap aspek-aspek Tri Hita Karana secara utuh dan mendalam. Ini terjadi selain karena media tidak faham masalah, juga tidak memiliki pengetahuan memadai mengenai sosiologis masyarakat Bali.
Akan sangat berbeda misalnya jika media membandingkan apa jadinya jika semua tempat suci besar seperti Pura Batur yang kini sudah dikeppung fasilitas bisnis. Bukan hanya kesulitan lahan parkir yang terjadi, juga ketidaknyamanan bersembahyang. Kaji misalnya apa yang telah terjadi dengan Besakih yang masyarakatnya kini tak mau tahu akibat dari perilakunya yang seenaknya membangun permukiman di sela-sela Pura. Lukiskan pula apa orientasi penduduk sekitar pura telah dengan sangat meyakinkan bergeser dari spiritual ke materialistis pragmatis? Jika iya, mengapa demikian? Apakah relasi sosial, budaya, agama, politik, ekonomi, dan idiologi sudah berubah dari kondisi yang dibutuhkan Bali semestinya?
Dengan memuat kajian mendalam sepertiitu, maka saya berpendapat, sajian berita media akan lebih berkelas. Media tidak dipandang hanya sebagai media bisnis atau ekonomi, juga sosial engineering. Ini saya katakan karena masalah RTRWP yang kini diributkan bukan hanya masalah fisik material semata, tetapi lebih merupakan masalah mental dan spiritualnya orang Bali. Masalah RTWRP ini adalah masalah apa yang saya sebut new social engineering.
Mau dibawa kemana Bali ke depan dan bagaimana mengelola tatanan sosial kemasyarakat masyarakat Bali yang baru ke depan. Itulah masalah besar dibalik kasus ini disebabkan Perda 16 Tahun 2009 bukan sekedar mengatur dimana boleh membangun apa dan oleh siapa, tetapi merupakan penuangan komitmen besar pemikir-pemikir besar Bali saat ini mengenai masa depan yang diharapkan tidak jauh berbeda dengan Bali masa lalu. Didalamnya terkandung kawasan suci dengan radius kesucian pura masing-masing.
Jika kini muncul SE Gubernur meminta Kabupaten menegakkan Perda itu, semestinya, disambut positif para bupati dan masyarakat. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka orientasi materialisme sudah sedemikian mengedepan di masyarakat Bali kini. Kemajuan pendidikan, teknologi, dan transportasi massa telah membawa orientasi yang benar-benar baru bagi orang Bali sehingga mereka ingin melupakan kisah masa lalunya tanpa bekas untuk mengenyam aneka pragmatisme masa kini. Pertanyaannya adalah, akankah hal itu dilakukan tanpa permenungan?
Jika itu materialisme, logika akademik dan pragmatisme yang menjadi orientasi masyarakat di sekitar tempat suci besar di Bali, maka dalam tempo tiga kali perputaran kabisat, 12 tahun, Bali harus siap dengan tatanan baru yang mungkin jauh lebih longgar dari sekarang. Dua belas tahun lagi Bali harus siap seperti India dan Nepal yang menyesal karena telah berkembang menjadi bangsa yang kehilangan jati diri. Pariwisata Bali bukan hanya ditinggalkan investor, akan tetapi oleh turis-turisnya. Bahkan Panudiana Kuhn yang mengatakan hal itu mungkin lebih dulu meninggalkan Bali.

Dewa Rai Anom, Puri Agung Sekar, Yeh Sumbul, Negara. 081236324868