Feb 16, 2011

Lestarikan Salak Bali, Desa Sibetan Susun Tata Ruangnya Sendiri


Sebagai sentra salak Bali, Desa Sibetan kini dihadapkan pada upaya menjaga tata ruangnya. Tantangannya, belum ada penetapan tertulis wilayah pemanfaatan terbatas untuk menjaga ekosistem lingkungan dan keasliannya. Kini, warga menyepakati rancangan tata ruang desanya agar salak Bali tak punah.

Tata ruang versi warga Banjar Dukuh untuk desa Sibetan ini dipresentasikan pada seminar tata ruang untuk berkontribusi pada penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Karangasem, Rabu (16/2). Difasilitasi Yayasan Wisnu dan TIFA. Warga memaparkan di hadapan perwakilan pemerintah kabupaten Karangasem, pengurus desa dan majelis desa pekraman Sibetan.
“Kami  tetap ingin pertanian satu jenis, yaitu salak dengan diselingi tanaman lain pada sela-selanya sepanjang tidak merubah pola keasliannya (sistem pertanian tumpang sari),“ kata I Nyoman Sujana, koordinator tata ruang desa Banjar Dukuh, Sibetan.
Untuk lahan kritis ada pengecualiannya, yaitu disesuaikan dengan jenis tanaman yang cocok. Pola-pola ini tidak bisa dirubah kecuali ada alasan-alasan yang mendasar, misalnya; tanah sudah tidak cocok untuk salak, terserang hama sehingga tidak mungkin dikembangkan lagi, dll.
Tata ruang juga menentukan, alih fungsi kebun untuk pekarangan maksimal 4 are per KK. Ada juga larangan menembak burung dan dilarang masuk kebun orang lain tanpa ijin. Untuk memaksimalkan manfaat hutan, konservasi, dan menambah penghasilan warga, dibuat paket-paket wisata kebun salak.
Dukuh, Sibetan kini menghasilkan rata-rata 60 kilogram salak per are per tahunnya. Sayangnya, karena hujan sepanjang tahun, hasil panen di sejumlah petak kebun salak menurun sampai 50%.  Tantangan lainnya adalah untuk menjaga kualitas salak serta pengolahannya.”Dulu kita 1 kilogram salak mendapatkan 5 kilogram beras. Sekarang terbalik. Ini ironis sekali,” ujar Sujana.
Dalm tata ruang diatur, kawasan konservasi/perlindungan di Dukuh-Sibetan dikenai aturan dilarang melakukan aktivitas atau kegiatan apapun di luar fungsinya. Misalnya; untuk flora (pohon atau tumbuh-tumbuhan) tidak bisa ditebang pohonnya dengan alasan apapun. Begitu juga bagi fauna (hewan atau binatang), agama dan adat/budaya perlu dijaga berdasarkan fungsinya. Sementara untuk kawasan pemukiman, disyaratkan bagi pekarangan yang terletak pada kemiringan lereng yang tajam (30% ke atas), memelihara pohon-pohonan keras (seperti mahoni), di teben pekarangan, membuat aliran air ke luar lokasi pekarangan.

Selain itu warga sepakat setiap orang dilarang membuang sampah plastik, kertas secara sembarangan, tidak boleh buang air besar di sembarangan tempat, kepemilikan anjing maksimal 2 ekor, anjing yang galak harus dirantai, dan tidak boleh membuat bangunan yang melebihi ketinggian pura.
Rancangan tat ruang hasil inisiatif warga itu mendapat dukunganNengah Sumadi, Ketua Komisi A DPRD Bali. Ia  menyatakan kawasan agro wisata seperti salak memang  tidak boleh dialihfungsikan. “Harus ditetapkan dalam awig juga selain RTRWP,” ujarnya.

No comments: