Feb 26, 2011

Jurnalisme Damai untuk Konflik RTRW, Mungkinkah?



Bali kok seperti menjelang Perang ya... Begitulah suasananya bila kita melihat koran-koran hari-hari ini. Dua pihak dalam sengketa RTRW seakan telah terpisahkan dan bersikukuh dengan sikapnya masing-masing. Seolah-olah tak ada jalan keluar kecuali satu pihak harus dikalahkan. Demo dan pengerahan massa dilakukan dan silih berganti dimuat menjadi headlines. Saling ejek dan melecehkan pun dilakukan secara terbuka.”Pasti senang ya, korannya makin laku,” begitulah sindiran yang sering saya terima sebagai wartawan.



Menyakitkan sebenarnya, karena seolah-olah media hidup dari pertengkaran dan keresahan orang banyak. Semakin banyak benturan, semakin membahagiakan. Adapun diantara kawan-kawan wartawan-wartawan sendiri, sebagian besar memang mengalami kebimbangan. Mereka bilang, semua dinamika itu adalah fakta yang layak diberitakan karena mempunyai nilai berita. Selain itu, begitulah kebijakan yang diambil dan diarahkan di ruang redaksi.

Situasi itu mengingatkan saya akan perbincangan di sekitar awal tahun 2000-an. Saat itu, berbagai daerah di Indonesia dilanda konflik berkepanjangan dengan akar masalah yang beragam. Mulai dari Aceh, Sambas (Kalimantan), hingga Ambon (Maluku). Peran media mendapat sorotan karena media seolah-oleh menjadi penyiram bensin di atas semua konflik yang berdarah-darah itu.

Lebih parah lagi memang karena di daerah itu, media dan wartawan dianggap melakukan pemihakan. Yang ingin berada tetap di tengah pun akan mengalami kesulitan karena para narasumber kemudian membuat pemetaan media mana yang berada di pihak kawan dan lawan.

Saat itulah muncul istilah ”Peace Journalism” atau jurnalisme damai yang mendorong media dan wartawan untuk lebih bertanggungjawab dalam memberitakan konflik. Yakni, tanggungjawab untuk mendorong tercapainya perdamaian dan membuka jalan bagi tercapainya solusi damai tanpa kekerasan. Difasilitasi sejumlah lembaga, saat itu, para wartawan di daerah itu kemudian berkumpul bersama untuk merumuskan tekat bersama mendorong penerapan jurnalisme damai.

Adapun dalam prakteknya, jurnalisme damai bukan berarti wartawan tidak dibolehkan menulis mengenai konflik yang terjadi. Peristiwa demi peristiwa dan berbagai pendapat tetap bisa ditampilkan tetapi wartawan juga harus memiliki komitmen untuk melakukan berbagai hal yang mendorong solusi persoalan.

Antara lain :
- Cover All Sides : Media bukan hanya memberitakan suara dan pendapat pihak yang bertikai secara seimbang (cover both sides), tetapi juga pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap masalah itu dan bisa memberikan pandangan yang netral dari kepentingan dua pihak. Kepentingan bersama untuk menyelesaikan masalah secara damai harus ditonjolkan.
- Media adalah mediator : Media harus menggali dan mendorong pihak-pihak yang bertikai untuk mengajukan solusi-solusi yang realistis. Mereka harus didorong untuk mau mengorbankan sedikit kepentingannya untuk kepentingan yang lebih besar. Media menjadi ruang berdialog yang sehat dan bukan sekedar tempat saling serang.
- Sensitif konflik : Media menerapkan seleksi yang lebih ketat untuk narasumber yang dikutip dan pernyataan-pernyataan provokatif dari masing-masing pihak yang bisa memperuncing masalah sehingga membuat tertutupnya jalan keluar yang realistis dan bisa diterima semua pihak. Data-data harus lebih digali dan dikedepankan daripada sekedar prasangka buruk.
- Membangun empati : Media perlu membangkitkan empati (kemampuan merasakan bila berada di posisi yang berbeda) masing-masing pihak sehingga mempermudah saling pengertian diantara pihak yang bertikai. Caranya antara lain dengan menampilkan sisi manusiawi bila salah-satu pihak menjadi korban.

Wah jadi serius banget. Memang begitulah. Tulisan ini adalah bagian dari keresahan atas kondisi Bali saat ini yang berbarengan pula dengan kisruh PSSI (dan jeleknya lagi bakalan pula dibawa ke Bali!. Tapi untuk PSSI ya Nurdin Khalid memang harus lengserlah).

Kita bersyukur Bali belum pernah mengalami konflik sekeras daerah-daerah lain dan karena itu semua orang punya kewajiban untuk menjaga situasi damai ini. Jaman ini memang jaman kebebasan pers, tetapi wartawan dan media sejatinya terikat pada etika sosial dan jurnalistik untuk mengedepankan kepentingan publik di atas semua kepentingan yang lain, termasuk kepentingan perusahaan pers itu sendiri. Ya enggak?.

Foto : Dari Gogle.com

No comments: