Feb 28, 2011

In Memoriam…..Fery Kristyanto


“Mas aku pamitan..rasah ketemu, sampean podo ambek Justin..gak bakal Nyangoni…”. Begitulah SMS yang saya terima dari Feri, Senin (28/2) kemarin. Itu merupakan SMS yang memberi kepastian akan keberangkatannya ke Jakarta untuk menempuh hidup baru dengan media baru setelah sekian lama , dia terbenam di Denpasar.



“Sudah makin sumpek, mas”. Begitu Fery memberi alasan, ketika 3 bulan lalu menyatakan rencana untuk mengikuti test di Tabloid Kontan, salah-satu tabloid ekonomi terkemuka itu. Sumpek bisa berarti, ruang redaksi menjadi makin sempit karena berbagai kepentingan yang harus dikompromikan. Juga karena dia sendiri sudah mulai bosan dengan tema lokal yang digelutinya setiap hari. “Bayarane soyo gak sebanding karo gaweane mas,” katanya yang berencana untuk menikah di tahun 2011.

Berat sebenarnya bagi Fery untuk membuat pilihan ini. Sebab tahun ini dia bakal diangkat untuk menjadi karyawan di Radar Bali. Itu artinya, ada tambahan fasilitas kesejahteraan baginya setelah sekitar 4 tahun menjadi karyawan kontrakan.

Bagi saya, kepergian Fery adalah sebuah kehilangan yang lumayan besar. Bukan memuji, tapi dia termasuk wartawan muda yang ringan tangan dan mau membantu untuk berbagai kegiatan AJI Denpasar. Dia belum terkena virus yang ditularkan para seniornya untuk cukup membantu program AJI dengan doa..(semoga Pipit tersindir dengan kalimat ini hua..hua..hua).

Lebih dari itu, Fery termasuk satu dari sedikit wartawan yang berani melampaui zona kenyamanan dengan menjaga sikap kritis serta jarak terhadap narasumber. Seringkali sikapnya itu menimbulkan masalah.

Sebutlah saat dia Ngepos di Pemda Badung, berita-beritanya senantiasa menohok kekuasaan. Sangking gak kuatnya, seorang staf di Pemda Badung sempat menulis di blog “Bale Bengong” akan dugaan bahwa Fery menerima sesuatu dari pihak lain dengan adanya berita-berita itu. Imbasnya adalah terjadinya perpecahan di tubuh AJI antara kubu wartawan Radar dengan kubu Anton Muhajir, pendiri Bale Bengong. “Wis dituntut ae nganggo UU ITE,” kata salah-satu kawan di Radar saat itu. Sementara Anton merasa, hal itu adalah bagian dari kebebasan berekspresi.

Saya sebagai “orang tua” diantara mereka, Alhamdulillah sangat menikmati perpecahan yang berakhir tanpa kejelasan itu.(Kayaknya sih sekarang mereka sudah berdamai…peace..peace..pisss)

Saat bertugas di Pemkot Denpasar, Fery lagi-lagi membuat masalah. Kali ini dia mendapat hujatan karena menulis soal kunjungan ke Batam yang menyeberang ke Singapura. Padahal sudah disepakati bahwa hal itu tak akan ditulis oleh wartawan yang ikut dimana karena tugas kantor dia adalah salah-satunya.

BTW, saya tentu tak mau tenggelam dalam kesedihan (emangnya Fery siapa saya?....). Ada gembiranya juga karena kepergian seorang wartawan muda ke Jakarta adalah keberanian melawan tantangan fisik dan mental. Sebagai salah-satu wartawan yang pernah bertugas disana, saya bisa membandingkan bedanya tekanan itu dibanding ketika bekerja di Denpasar.

Tetapi tekanan itu juga menjanjikan pencerahan yang tak tergantikan. ”Di Jakarta kita akan ikut merasakan denyut nadi republik,” begitu kata kawan saya Eko Warijadi (alm) ketika di tahun 1996 merayu saya untuk ikut berangkat ke Jakarta. Ritme kerja yang penuh tekanan juga membiasakan kita untuk lebih cepat mengambil keputusan, menyusun frame persoalan dan membuat prediksi ke depan serta menyiapkan antisipasinya.

Apakah Fery akan menemukan pencerahan itu? Kita doakan sajalah. ..

2 comments:

Anonymous said...

semoga sukses fer

Anonymous said...

jangkrikkkkkkk (soriiii mas)
aku bener2 kesel sama mas rofiki.
judule mas..sekali lagi juduleeeeeee
bikin aku hampir pingsan.
aku pikir fery kenapa2 aduhh bikin gundah aja
peace journalist dunk massssss
jangan bikin aku konflik batin, ojo manih bikin judul yang aneh2 gitu ahhh mas

buat fery sukses ya... jiwa frontier harus tetep melekat, dimanapun kamu berada brother

salam

gendo