Keempat desa itu adalah Banjar Kiadan-Pelaga di Badung,
Banjar Dukuh-Sibetan-Karangasem, Desa Adat Tenganan Pegringsingan di
Karangasem, serta Desa Lembongan di Klungkung. Keempat daerah itu sudah membuat
pemetaan desa dan akan diseminarkan mulai awal minggu ini.
Pertama adalah seminar Banjar Kiadan Plaga pada 14 Februari
ini di Balai Subak Sari Boga, Kiadan
Pelaga, Petang. Lalu disusul desa-desa lainnya. “Semua hasil tata ruang dari
warga ini akan disampaikan ke Gubernur dan diseminarkan di Wantilan DPRD Bali
sebagai bentuk desakan penyelamatan Bali,” ujar I Made Japa, Kelian Dinas Desa
Kiadan.
Ia mengatakan banyak sekali tantangan yang dihadapi warga
masalah tata ruang yang harus diatur dengan spesifik. Misalnya desa adat Kiadan
dihadapkan pada kenyataan sebanyak 1,29% lahan (palemahan) sudah dimiliki orang luar, yakni seluas 3,12 ha.
Sementara hanya 1,94% lahan yang tidak boleh dijual, yakni seluas 4,69 ha dalam
bentuk tanah pekarangan desa.
“Dengan
adanya pertambahan jumlah penduduk, maka desa adat kiadan membutuhkan perluasan
zona permukiman. Ini yang harus segera
diatur. Kalau tidak, kawasan ini bisa kacau,” tambah I Made Japa soal desanya
yang menjadi daerah resapan air di Bali. Pelaga salah satu kawasan yang
menyuplai air ke hilir, atau Bali selatan yang kemudian dinikmati hotel dan
resor mewah. Bahkan debit air untuk pengairan sawah di kawasan Badung utara ini
sudah turun sejak tahun 1999.
Ekosistem
di Desa Kiadan juga mulai perlu mendapat perhatian serius, mengingat jenis dan
jumlah keanekaragaman hayati (tumbuhan dan hewan – termasuk burung) semakin
berkurang, drainase, sanitasi dan sampah terutama plastik belum dikelola dengan
baik.
Masalah
serupa juga dialami tiga desa lainnya. Padahal keempatnya adalah kawasan desa
wisata dan perlu rencana pelestarian secepatnya. Dari berbagai fakta sosial itu,
sejak beberapa tahun lalu warga di keempat daerah sudah mulai membuat
ancang-ancang peta desa dan kemudian tata ruang wilayah dalam bentuk keputusan-keputusan desa seperti Perarem.
“Perarem soal kearifan lokal atau melindungi desa dari
kerusakan lingkungan adalah salah satu pilihan yang bisa dilakukan oleh desa
adat,” jelas Prof I Wayan Windia, ahli hukum adat Bali dari Universitas
Udayana. Menurut Windia, Bali butuh gerakan yang cepat dan benar-benar ikhlas
melindungi desa adat dan lingkungannya. Terlebih di tengah tarik menarik
kepentingan dalam Perda Tata Ruang saat ini.
“Keempat warga desa membuat tata kelola wilayahnya karena
mereka sendiri yang paling tahu kondisi desanya,” ungkap Ir I Made Suarnatha,
Direktur Yayasan Wisnu sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di
bidang lingkungan dan transformasi sosial, dan bekerja sama dengan 4 desa adat
di Bali itu sejak akhir tahun 1999.
Secara substansial gagasan pengaturan penataan ruang di
tingkat desa tersebut telah berjalan dan dilaksanakan, namun secara formal
belum diajukan baik ke tingkat kabupaten maupun kecamatan.
Tata ruang ala warga ini dihubungkan dengan rencana tata ruang wilayah provinsi Bali yang
sudah disahkan pada akhir Agustus 2009. Gagasan untuk mengajukan
usulan-usulan masyarakat ini didasarkan pada alas hukum yang diberikan oleh
negara melalui Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pelibatan masyarakat dalam
penataan ruang, yakni PP No. 68 tahun
2010 tentang bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang.
Menurut ketentuan, peran masyarakat dalam penataan ruang
dilakukan pada tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Pemerintah kabupaten sedang memproses pengesahan Ranperda
RTRW Kabupaten, di mana dalam kesempatan inilah masyarakat memiliki hak untuk
terlibat di dalamnya.
Tidak hanya sebatas melalui wakil-wakil rakyat di dalam
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten, namun juga terlibat langsung secara aktif
menyampaikan gagasan dan usulan kepada dinas yang membidangi. Dalam PP itu
pemerintah diwajibkan memberikan informasi dan menyediakan akses informasi
kepada masyarakat tentang proses penyusunan dan penetapan rencana tata ruang
melalui media komunikasi, melakukan sosialisasi mengenai perencanaan tata
ruang, menyelenggarakan kegiatan untuk menerima masukan dan memberikan
tanggapan kepada masyarakat (Pasal 16 PP No. 68 Tahun 2010).
Saat ini Perda RTRWP Bali No 16 Tahun 2009 sedang diprotes
sebagian bupati di Bali karena dinilai menyulitkan investor masuk. Misalnya
soal permintaan revisi jarak sempadan pantai yang ditetapkan 100 meter dan
daerah steril 2-5 kilometer dari pura.
Informasi lebih
lanjut:
Yayasan Wisnu
d/a Jl. Pengubengan
Kauh No.94 Kerobokan
Contact Person: Denik
Puriati 08990144896
No comments:
Post a Comment