Feb 10, 2011

Dirgahayu Pers Nasional?


Pada 9   Februari 2011, hari ini, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)  
menggelar peringatan Hari Pers Nasional. Akronimnya HPN. Meski banyak 
yang menanyakan keabsahannya, namun sejak 1985 hingga kini peringatannya
  tetap dilaksanakan juga.


Para pejabat mulai dari Presiden hingga 
Bupati, juga pejabat lain bahkan hadir dalam acara yang biasanya 
gemerlapan ini. Lalu mengapa banyak orang menanyakan 
keabsahannya? Penetapan tanggal itu sebagai Hari Pers Nasional dibuat 
melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Tanggal 9 Februari 
sesungguhnya merupakan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia. 
Organisasi yang pernah ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi resmi
wartawan di Indonesia itu berdiri 9 Februari di Solo, Jawa Tengah.
Tentu saja itu mengusik banyak orang. Pasalnya, pers Indonesia lahir jauh 
sebelumnya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan negeri
  yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini. Budayawan
Tafik  Rahzen, salah seorang yang gelisah dengan itu. Ia lalu
menelusurinya.  Ia kemudian membukukan penelitiannya dalam buku 100
Tahun Pers Nasional. Ia kemudian membuat simpulan bahwa
mestinya hari kelahiran pers  nasional itu ditandai tonggaknya dari
terbitnya Medan Prijaji pada 1  Januari 1907. Dari
penelusuran Taufik diketahui Medan Prijaji,  koran berbahasa Melayu
sudah terbit di Bandung pada 1 Januari 1907.  Koran ini adalah Koran
yang dibidani Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.  Karenanya, menurut Taufik,
seharusnya Hari Pers Nasional diperingati  pada 1 Januari.  Harian
memang bukan koran yang pertama kali  terbit di bumi Nusantara.
Sebelumnya banyak koran yang sudah terbit di  Hindia Belanda, nama
Indonesia di bawah jajahan Pemerintah Kolonial  Belanda. Namun,
menurutnya, Medan Prijaji adalah koran nasional pertama.  Alasannya,
semua awak koran tersebut adalah pribumi dan koran tersebut  yang
pertama menggunakan bahasa Melayu. Pendapat Taufik
dibantah  oleh peneliti sejarah di Universitas Leiden, Belanda. Ia
mengatakan  Medan Prijaji bukanlah koran nasional pertama. Jauh sebelum
Raden Mas  Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Medan Prijaji, pada 1894-1910
di Sumatera  telah terbit banyak koran berbahasa Melayu yang digawangi
Dja Endar  Moeda. Sebelumnya pula di Padang, pada 1890-1921, Mahyudin
Datuk Sutan  Maharadja telah menerbitkan enam koran berbahasa Melayu. Jadi, mesti dari mana kita menandai kelahiran pers nasional kita? Ini pertanyaan yang susah-susah gampang menjawabnya. Andreas Harsono, seorang penulis kesohor yang memelopori jurnalisme sastrawi, dalam blognya yang beralamat di http://andreasharsono.blogspot.com/2007/10/polemik-sejarah-pers-indonesia.html juga menulis perdebatan-perdebatan soal hari kelahiran pers Nasional ini. Ia
  menuliskan bagaiman novelis Pramoedya Ananta Toer, menokohkan Tirto 
Adhi Soerjo, bidannya Medan Prijaji. Pram menandai Medan Prijaji sebagai
  pers nasional terkemuka ketika itu. Bahkan, Andreas juga
  menuliskan pendapat Suryadi, peneliti dari Leiden itu. Suryadi 
berpendapat, jasa Tirto tak lebih besar dari Dja Endar Moeda, atau Abdul
  Rivai yang menerbitkan Bintang Hindia, sebuah koran yang kritis pada 
Pemerintah Belanda namun terbit di Amsterdam pada 1903-1907. Bahkan
  adapula Nasrul Azwar yang berpendapat bahwa Bintang Timoer, koran 
berbahasa Melayu lebih tua daripada Medan Prijaji. Bintang Timoer sudah
dibaca oleh orang Minang sejak 7 Desember 1864. Jadi pada
tanggal  berapakah kita mesti merayakan hari kelahiran Pers Nasional?
Saya belum  punya jawabannya. Namun semestinya, tidaklah bisa disebut
terlambat  jika kita ingin mengkajinya kembali. Sebab bisa-bisa anggota
Aliansi  Jurnalis Independen, PWI Reformasi atau Ikatan Jurnalis
Televisi dan  lusinan organisasi wartawan lainnya yang lahir di awal
Reformasi tidak  mau merayakan Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9
Februari ini.  Sebab  itu, sejatinya adalah hari lahir Persatuan
Wartawan Indonesia.  Organisasi yang pernah menjadi satu-satunya
organisasi wartawan yang  diakui Pemerintah. Tapi hari
ini, saya mesti mengucapkan:  “Selamat Hari Jadi PWI. Semoga Pers
Indonesia makin Jaya.”

(oleh Jafar G Bua,  anggota AJI Palu dan jurnalis
Televisi yang berbasis di Palu, Sulawesi  Tengah)***

No comments: