Dec 1, 2010

Instalasi Gerak di Geoks Singapadu


Di Sanggar Geoks, Singapadu, Ubud, Bali, koreografer Fitri Setyaningsih menyuguhkan komposisi tari itu dengan permainan ritmenya yang intens. Gerakan dia yang hampir monoton itu diiringi bayang bayang gerak dua penari di layar putih sebagai latar panggung.Alih-alih menampilkan sebuah tarian, visual panggung lebih mirip sebuah insatalasi yang hidup.

Koreografi berdurasi 24 menit itu kemudian dipadupadankan dengan sorot LCD ke layar yang menampilkan gradasi warna warna kehidupan. Warna yang melambangkan terbitnya matahari dan mengubah perjalanan hari, dari pagi, siang, hingga senja menjelang."Napasnya sebenarnya di perubahan warna itu," kata Fitri tentang komposisi bertajuk Warna dari Dalam Tanah itu. Adapun gerak tari, Fitri menambahkan, hanyalah sebuah instalasi dari berbagai gerak yang diperagakan seseorang dalam melewati hari harinya.

Sayangnya, perubahan nuansa itu kurang berkesan karena sorotan sinar ke panggung terlalu lemah. Gradasi warna yang dijanjikan tidak berhasil menciptakan kesan di mata penonton. Mestinya warna warna itu berubah pelan dalam intensitas gradasi yang naik turun- mengikuti ritme waktu. Warna dari caha-ya merah pada pagi hari, biru langit ma-nakala siang menjelang, hingga kuning- keemasan ketika matahari terbenam.
Penata artistik Afrizal Malna mengakui situasi panggung memang kurang mendukung. Resolusi cahaya yang mestinya mencapai 5.000 piksel hanya menggunakan LCD dengan kekuatan 2.000 piksel. Situasi itu cukup meresahkan karena gerakan mereka menjadi kurang maksimal.
Kompromi dengan kondisi panggung juga harus dilakukan pada koreografi berjudul Flight 12. Sebenarnya, panggung diimajinasikan sebagai kondisi di angkasa raya dengan kesan warna biru yang kuat. Tarian itu hendak bercerita mengenai absurditas, ketika seseorang terjebak dalam pesawat terbang dan hidupnya diserahkan kepada satu jalur perjalanan. Tapi panggung justru didominasi oleh warna hitam yang menjadi warna dinding dan lantai. Cahaya lampu yang temaram pun gagal menampilkan kesan birunya langit.
"Tidak mungkin dinding kita ganti dengan warna biru karena akan merepotkan pertunjukan yang lain," ujar Afrizal. Lantai yang mestinya putih, agar lebih sempurna memantulkan cahaya, juga sudah tak bisa diubah lagi. Malam itu, selain karya Fitri, mereka memang harus berbagi panggung dengan koreografer lain.
Akibatnya, imajinasi penonton hanya dipandu oleh gerakan minimalis Fitri yang menancapkan tubuhnya di dinding. Ia hanya muncul sebatas pinggang dengan pakaian biru berumbai dan bola bola di ujungnya. Bola bola itu menggambarkan aneka benda langit. Ia lalu memainkan seutas tali merah yang membelah panggung dengan melipat dan menggoyangkannya diiringi deru suara pesawat yang naik turun.
Malam itu, karya Fitri yang tak terganggu oleh kondisi panggung adalah Bubble Sling. Ini adalah tarian yang berkisah tentang permainan suara dalam masyarakat modern. Suara suara yang dimainkan layaknya gesekan kawat mencerminkan kesibukan tiada akhir yang centang perenang. Gerakan penari terasa spontan seperti anak anak yang menjajal permainan baru, yang setiap detailnya menghasilkan suara berbeda.
Penari senior Wayan Dibia menyatakan penampilan Fitri memberikan pengalaman baru bagi penikmat tari di Bali. Selama ini mereka telah dibuai dengan definisi tarian sebagai gerakan yang kaya variasi dan selalu lemah gemulai. "Di sini terlihat perbedaan cara pandang terhadap gerak," ujar guru besar Institut Seni Indonesia Denpasar itu. "Kalaupun ada gerakan yang mi-nimalis terselip di antara tarian Bali, itu biasanya hanya menjadi penanda jeda waktu dalam peralihan gerakan."

No comments: