Sarang lebah ada
dimana-mana. Mereka bergerombol mengelilingi ratunya dan memenuhi ruangan di Warung Lampau, Denpasar.
Makluk penghasil madu tetapi juga memiliki sengat yang menyakitkan itu
beterbangan dan menclok sesuka hatinya. Menghiasi dinding dan lampu-lampu
temaram.
Tapi tentu saja
bukan lebah yang sebenarnya. Itu adalah kreasi perupa Ketut Suasana dengan
mengayam bambu muda menyerupai serangga itu. Jumlah seluruhnya untuk instalasi
itu mencapai 3.000 biji yang dibuat dengan tangannya sendiri. “Bambu saya ambil
dari kebun sendiri,“ ujarnya, Minggu (12/12).
Perupa kelahiran
Tabanan, 30 Desember 1978 itu sudah lama tertarik kepada lebah. Sembilan tahun
terakhir dia malah terus mengangkat lebah dan kehidupannya sebagai obyek
lukisannya. Ia pun belajar banyak tentang metamorfosis yang sempurna dari tahap
telur, larva, kepompong sampai akhirnya menjadi serangga yang memproduksi
madu. Kehidupan sosial binatang itu juga
menarik karena selalu hidup berkelompok dengan seorang ratu di dalamnya.
Bagian yang
paling mempesona adalah sarangnya yang rumit sekaligus sangat artistik. Bagi
anak kampung yang kerap dipanggil Kabul itu, kehidupan lebah adalah sindiran
bagi kehidupan manusia yang cenderung individualistis dan enggan mencapai
tujuan bersama. “Itu menjadi menu harian kita,“ ujarnya yang di waktu kecil
sangat sering disengat lebah di sawah.
Pengamat seni
Jean Couteau yang hadir saat pembukaan menyebut, karya Suasana merupakan bagian
dari pencarian inspirasi seniman Bali terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka
mengolah simbol-simbol kehidupan yang akrab dengan dirinya. “Kali ini adalah
renungan tentang kehidupan di alam agraris,“ ujarnya.
Lebih dari
ekspresi berkesenian, Couteau menyebut, karya itu adalah media untuk kembali
merenungi hubungan antara manusia dan lingkungannya. Dalam konteks Bali, hal
itu menjadi sangat relevan dengan cepatnya perubahan-perubahan yang terjadi dan
membuat manusia lupa dengan kondisi di sekitarnya.
Soal kematangan
karya, menurutnya, tergantung kepada cara penikmatan audiens dari karya itu.
Namun, dari segi gagasan, karya itu sangat menarik dan menjadi alternatif dari
karya perupa muda lainnya di Bali yang cenderung tertarik pada tema manusia dan
individualitasnya.
Instalasi yang
akan dipajang selama 3 bulan itu sendiri sangat menarik karena bisa dianggap
sebagai proses kreatif lainnya. Sebab dalam masa itu, warna bambu akan memudar
baik oleh debu maupun proses pengeringan bambu. Hasilnya adalah warna dan
nuansa yang berbeda dari yang dipamerkan pertama kalinya. “ Proses perubahan
itu akan didokumentasikan sebagai aktivitas kesenian tersendiri,“ kata Hartanto
yang menjadi kurator pameran.
Pemilihan tempat
yang tak lazim, yakni pada sebuah restoran, menurutnya, merupakan tawaran
alternatif untuk mendobrak kesan pameran kesenian di Bali yang cenderung
elitis. Sebab,selama ini hanya digelar di galeri atau di hotel dengan
pengunjung yang terbatas. Dia percaya, proses berkesenian mestinya bisa menjadi
milik semua orang meski penikmatan bisa dilakukan dengan cara yang
berbeda-beda. ROFIQI HASAN
No comments:
Post a Comment