Dec 13, 2010

Belajar dari Eksotisme Lebah


 Sarang lebah ada dimana-mana. Mereka bergerombol mengelilingi ratunya dan  memenuhi ruangan di Warung Lampau, Denpasar. Makluk penghasil madu tetapi juga memiliki sengat yang menyakitkan itu beterbangan dan menclok sesuka hatinya. Menghiasi dinding dan lampu-lampu temaram.


Tapi tentu saja bukan lebah yang sebenarnya. Itu adalah kreasi perupa Ketut Suasana dengan mengayam bambu muda menyerupai serangga itu. Jumlah seluruhnya untuk instalasi itu mencapai 3.000 biji yang dibuat dengan tangannya sendiri. “Bambu saya ambil dari kebun sendiri,“ ujarnya, Minggu (12/12).


Perupa kelahiran Tabanan, 30 Desember 1978 itu sudah lama tertarik kepada lebah. Sembilan tahun terakhir dia malah terus mengangkat lebah dan kehidupannya sebagai obyek lukisannya. Ia pun belajar banyak tentang metamorfosis yang sempurna dari tahap telur, larva, kepompong sampai akhirnya menjadi serangga yang memproduksi madu.  Kehidupan sosial binatang itu juga menarik karena selalu hidup berkelompok dengan seorang ratu di dalamnya.

Bagian yang paling mempesona adalah sarangnya yang rumit sekaligus sangat artistik. Bagi anak kampung yang kerap dipanggil Kabul itu, kehidupan lebah adalah sindiran bagi kehidupan manusia yang cenderung individualistis dan enggan mencapai tujuan bersama. “Itu menjadi menu harian kita,“ ujarnya yang di waktu kecil sangat sering disengat lebah di sawah.

Pengamat seni Jean Couteau yang hadir saat pembukaan menyebut, karya Suasana merupakan bagian dari pencarian inspirasi seniman Bali terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka mengolah simbol-simbol kehidupan yang akrab dengan dirinya. “Kali ini adalah renungan tentang kehidupan di alam agraris,“ ujarnya.

Lebih dari ekspresi berkesenian, Couteau menyebut, karya itu adalah media untuk kembali merenungi hubungan antara manusia dan lingkungannya. Dalam konteks Bali, hal itu menjadi sangat relevan dengan cepatnya perubahan-perubahan yang terjadi dan membuat manusia lupa dengan kondisi di sekitarnya.

Soal kematangan karya, menurutnya, tergantung kepada cara penikmatan audiens dari karya itu. Namun, dari segi gagasan, karya itu sangat menarik dan menjadi alternatif dari karya perupa muda lainnya di Bali yang cenderung tertarik pada tema manusia dan individualitasnya.

Instalasi yang akan dipajang selama 3 bulan itu sendiri sangat menarik karena bisa dianggap sebagai proses kreatif lainnya. Sebab dalam masa itu, warna bambu akan memudar baik oleh debu maupun proses pengeringan bambu. Hasilnya adalah warna dan nuansa yang berbeda dari yang dipamerkan pertama kalinya. “ Proses perubahan itu akan didokumentasikan sebagai aktivitas kesenian tersendiri,“ kata Hartanto yang menjadi kurator pameran.
Pemilihan tempat yang tak lazim, yakni pada sebuah restoran, menurutnya, merupakan tawaran alternatif untuk mendobrak kesan pameran kesenian di Bali yang cenderung elitis. Sebab,selama ini hanya digelar di galeri atau di hotel dengan pengunjung yang terbatas. Dia percaya, proses berkesenian mestinya bisa menjadi milik semua orang meski penikmatan bisa dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. ROFIQI HASAN


 









No comments: