Oct 23, 2010

Pariwisata Jebak Bali dalam Dilema


INDUSTRI pariwisata yang kini menjadi tumpuan Bali membuat daerah ini terjebak dalam tiga dilema besar. Yakni, antara kebutuhan buruh murah dengan kehadiran  penduduk pendatang yang sebagian beragama Islam, antara keperluan  investasi dari luar serta pemberdayaan ekonomi lokal  serta dilema antara keinginan mendatangkan turis dengan penolakan atas pengaruh globalisasi budaya.


Kesimpulan itu disampaikan peneliti dari Universitas Leiden Henk Schulte Nordholt dalam diskusi buku “Bali Benteng Terbuka 1995-2005”, Sabtu (23/10). “Ketiganya menjadi sumber dinamika dan pergolakan Bali,” ujarnya.


Seiring dengang reformasi politik di Indonesia yang ditandai dengan demokratisasi dan desentralisasi, menurutnya, masyarakat Bali  mempunyai pilihan yang lebih luas untuk menentukan masa depannya sendiri.  Bukunya itu mendokumentasikan perjalanan Bali dalam 10 tahun terakhir dimana terdapat eksperimen dari para elit lokal di Bali dalam merespon dilema itu.

Salah-satunya adalah melalui wacana  “Ajeg Bali” yang berarti keinginan melestarikan Bali. Sayangnya, seperti ditulis Nordholt dalam buku itu, wacana itu cenderung eksklusif dan defensif . Pada gilirannya, aplikasi dari wacana itu  bisa menghambat perkembangan Bali sendiri sebagai daerah pariwisata internasional.  Kesulitan lain dalam penerapan wacana itu adalah kerumitan administratif karena sebagai pulau yang kecil Bali terbagi dalam 9 kabupaten.  “Tidak cukup jelas sebenarnya siapa yang lebih berkuasa di Bali diantara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten,” ujarnya.

Nordholt mengaku tidak bisa membayangkan proses yang terbaik bagi Bali. Dia hanya berharap bahwa Bali nantinya dapat memposisikan dirinya sebagaimana kota-kota metropolitan lainnya seperti Singapura, Hongkong dan Kualalumpur. Untuk itu dibutuhkan sikap yang terbuka selain semangat kreatif yang sudah dimiliki oleh sebagian besar warga Bali. Dia juga berharap agar partai-partai politik sebagai saluran kepemimpinan lokal belajar menjadi lebih efektif untuk mengatasi masalah-masalah birokrasi.

Antropolog Perancis yang sudah lama tinggal di Bali Jean Couteu melihat, diantara ketiga dilema itu , bahaya terbesar datang dari kehadiran investasi asing ke Bali. “Mereka mempunyai kekuatan untuk membeli setiap jengkal tanah di Bali dan akhirnya akan merubah Bali tanpa sepengetahuan warga lokal,” ujarnya.  Di masa lalu, pengaruh itu dibatasi melalui konspe pariwisata budaya yang memusatkan perkembangan pariwisata di daerah tertentu serta larangan untuk memiliki tanah bagai orang asing.

Sementara kehadiran penduduk pendatang sedikit menimbulkan masalah terutama karena munculnya revivalisasi dalam Islam yang mengakibatkan adanya jarak sosial  dengan masyarakat lokal Bali.  Hal itu mengakibatkan kurannya pembauran antara penduduk pendatang dengan masyarakat lokal seperti melalui perkawinan campuran. ****

No comments: