INDUSTRI pariwisata yang kini menjadi tumpuan Bali membuat daerah ini terjebak dalam tiga dilema besar. Yakni, antara kebutuhan buruh murah dengan kehadiran penduduk pendatang yang sebagian beragama Islam, antara keperluan investasi dari luar serta pemberdayaan ekonomi lokal serta dilema antara keinginan mendatangkan turis dengan penolakan atas pengaruh globalisasi budaya.
Kesimpulan itu disampaikan peneliti dari Universitas Leiden
Henk Schulte Nordholt dalam diskusi buku “Bali Benteng Terbuka 1995-2005”,
Sabtu (23/10). “Ketiganya menjadi sumber dinamika dan pergolakan Bali,” ujarnya.
Seiring dengang reformasi politik di Indonesia yang ditandai dengan demokratisasi dan
desentralisasi, menurutnya, masyarakat Bali mempunyai pilihan yang lebih luas untuk
menentukan masa depannya sendiri. Bukunya
itu mendokumentasikan perjalanan Bali dalam 10 tahun terakhir dimana terdapat
eksperimen dari para elit lokal di Bali dalam
merespon dilema itu.
Salah-satunya adalah melalui wacana “Ajeg Bali” yang berarti keinginan
melestarikan Bali. Sayangnya, seperti ditulis
Nordholt dalam buku itu, wacana itu cenderung eksklusif dan defensif . Pada
gilirannya, aplikasi dari wacana itu bisa
menghambat perkembangan Bali sendiri sebagai
daerah pariwisata internasional. Kesulitan lain dalam penerapan wacana itu
adalah kerumitan administratif karena sebagai pulau yang kecil Bali terbagi dalam 9 kabupaten. “Tidak cukup jelas sebenarnya siapa yang lebih
berkuasa di Bali diantara Pemerintah Provinsi
dan Kabupaten,” ujarnya.
Nordholt mengaku tidak bisa membayangkan proses yang terbaik
bagi Bali. Dia hanya berharap bahwa Bali nantinya dapat memposisikan dirinya sebagaimana
kota-kota metropolitan lainnya seperti Singapura, Hongkong dan Kualalumpur.
Untuk itu dibutuhkan sikap yang terbuka selain semangat kreatif yang sudah dimiliki
oleh sebagian besar warga Bali. Dia juga
berharap agar partai-partai politik sebagai saluran kepemimpinan lokal belajar
menjadi lebih efektif untuk mengatasi masalah-masalah birokrasi.
Antropolog Perancis yang sudah lama tinggal di Bali Jean
Couteu melihat, diantara ketiga dilema itu , bahaya terbesar datang dari
kehadiran investasi asing ke Bali. “Mereka
mempunyai kekuatan untuk membeli setiap jengkal tanah di Bali dan akhirnya akan
merubah Bali tanpa sepengetahuan warga lokal,”
ujarnya. Di masa lalu, pengaruh itu
dibatasi melalui konspe pariwisata budaya yang memusatkan perkembangan
pariwisata di daerah tertentu serta larangan untuk memiliki tanah bagai orang
asing.
Sementara kehadiran penduduk pendatang sedikit menimbulkan
masalah terutama karena munculnya revivalisasi dalam Islam yang mengakibatkan
adanya jarak sosial dengan masyarakat
lokal Bali. Hal itu mengakibatkan kurannya pembauran
antara penduduk pendatang dengan masyarakat lokal seperti melalui perkawinan
campuran. ****
No comments:
Post a Comment