Oct 18, 2010

Oleh-oleh dari Ubud Writers and Reader Fest 2010 : Merayakan Keberagaman Cerita

Di kota yang kini bernama Chennai itu, mereka dipaksa bekerja keras menghibur  orang-orang Inggris yang haus akan hiburan. Menyanyi dan menari dan bermain drama dalam pengawasan yang ketat dari pemimpin rombongan. Sementara di sekitar mereka  terjadi bencana epidemi korea. Kisah pun kemudian bergulir dengan aksi pemogokan  yang menghantar mereka kepada sidang pengadilan Tinggi di Madras.
Kedua tokoh dalam novel “India Dark” yang diluncurkan di ajang UWRF itu adalah fiksi belaka. Tetapi pengarangnya Kristy Murray berangkat dari sebuah fakta tersembunyi selama sekitar 2 abad  mengenai nasib anak-anak pada rombongan kesenian dari negaranya  yang berlayar hingga ke India pada akhir 1909. 
Ia pertama kali mendapatkan cerita itu ketika sedang melakukan penelitian mengenai teater anak-anak untuk mengembangkan karakter tokoh dalam bukunya "Children of The Wind". Saat  bertemu dengan Peter Freund, seorang sejarawan  teater  di Ballarat, dia disodori sebuah esai berjudul "Children Half Price – An account of the demise of Pollard’s Lilliputian Opera Company" . "Dia menantang saya untuk membuat cerita mengenai anak-anak itu, " sebut wanita kelahiran Melbourne,  21 Nopember 1960.     
Tapi baru pada tahun 2006,  Kristy benar-benar tergoda oleh tawaran itu. Setelah,  membaca ulang ia memutsukan untuk melakukan riset mendalam. Dimulainya dengan membuka dokumen sejarah di Perpustakaan Negara Bagian Victoria. Disitu dia mendapatkan fakta yang mengejutkan bahwa rombongan kesenian anak-anak adalah adalah hal yang biasa sejka tahun 1800-an. Mereka memenuhi kebutuhan para pejabat daerah koloni akan hiburan yang berbau Eropa.
Setelah itu, ia mengunjungi semua kota yang disinggahi oleh rombongan itu termasuk Surabaya dan Jakarta meski kota itu hanya satu malam saja disinggahi Lilliputian Opera. Menariknya, untuk mendapat gambaran utuh mengenai kota itu, ia menjadikan karya-karya Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Buru sebagai acuan. “Sekarang saya menjadi penggemar fanatik Pram,” ujarnya. Pram, menurutnya, berhasil menggambarkan keberadaan kota-kota itu di masa kolonial.
Kota yang tak ketinggalan didalaminya tentu saja adalah Chennai. Dibantu oleh sejawaran lokal
S. Muthiah, ia berhasil mendatangi semua situs penting yang menunjukkan keberadaan pertunjukan anak-anak. Kristy bahkan berhasil mengakses catatan pengadilan asli di Pengadilan Tinggi Madras. 
Buku lain yang tak kalah menarik darti ajang UWRF adalah karya novelis Palestina  Suad Amiry “Nothing to Lose But Your Life”.  Buku ini bercerita mengenai kehidupan nyata  tokoh bernama Murad,  seorang pemuda yang ditemuinya sebagai penggarap taman di rumahnya.  Dari Murad,  dia memperoleh cerita mengenai  nasib para pekerja Palestina di Israel.
Ia lalu nekat mencoba untuk mengikuti perjalanan para pekerja yang seluruhnya laki-laki. Disitu dia yang menyamar sebagai  seorang pria  merasakan  ketatnya penjagaan di pos pos polisi Israel yang jumlahnya mencapai ratusan.  Dari desa  Murad ke kawasan industry  Petah Tikva di Israel yang jaraknya hanya sekitar 35 kilometer  dan sebenarnya hanya butuh waktu sekitar 20 menit  dengan menggunakan bus, mereka harus menempuhnya selama 18 jam.
Pengalaman paling mengesankan adalah ketika sebuah jip tentara  Israel mengejar mereka.  Setelah sempat bersembunyi, akhirnya mereka memutuskan untuk menerobos masuk ke perbatasan.  Murad menyebut, jip itu pun akhirnya tidak akan mampu mengangkut mereka semua. Akhirnya,  dari  24 orang yang nekat yang menerobos ada juga empat orang yang lolos termasuk Amiry. “Itu benar-benar menegangkan,” kata Amiry yang sejatinya berprofesi sebagai seorang arsitek itu.
Bagi Amiry, buku nya itu sebenarnya merupakan kelanjutan dari upayanya untuk melihat  konflik Israel dan Palestina sebagai masalah sehari-hari.  Bagaimana orang-orang kecil harus menanggung resiko atas perang yang tak berkesudahan.  Di sisi lain, dia melihat, betapa para pekerja Palestina sangat menikmatinya hari-harinya saat bekerja di Israel . Dia menegaskan, konflik  sejatinya  tidak boleh dilihat di tataran politik dan agama karena bisa jadi bertentangan dengan kenyataan sehari-hari.
Dia membantah keras anggapan umum, termasuk dari muslim di Indonesia, bahwa konflik  Israel dan Palestina adalah pertentangan antara  Islam dan Yahudi. Akar masalahnya adalah perampasan tanah oleh Israel. “ Agama Jahudi mungkin menjadi korban karena digunakan untuk melabeli kepentigan itu,” ujarnya.  Sebagai warga Palestina, dia menolak mengulangi kesalahan Israel yang menunggangi agama untuk kepentingan politik.
Tapi diantara berbagai buku yang diluncurkan,  karya Ali Eteraz “ Children of Dust” mungkin adalah yang paling kontroversial. Dalam buku itu Eteraz menceritakan dirinya sendiri  yang yang lahir dari keluarga muslim Pakistan. Setelah menjalani kehidupan kanak-kanak di Madrasah yang sangat ketat, ia kemudian    tumbuh dan dibesarkan di Amerika seiring dengan imigrasi keluarganya.
Pada tahun In 1999, ia kembali ke Pakistan untuk bertemu teman-temanya  serta  harapan akan mendapatkan  identitas dirinya.  Namun yang ditemuinya kemudian  adalah anak-anak muda yang penuh dengan  kemarahan dan retorikan  militan khas kaum Taliban. “Saya pun kemudian dicurigai sebagai agen CIA,” ujarnya mengenai pengalaman yang paling unik di buku itu.    Eteraz akhirnya kembali ke Amerika dengan gambaran yang hancur mengenai kampung halamannya.  Kini dia terus mencari jalan tengah untuk menemukan Islam, tapi sekaligus identitasnya sebagai seorang Amerika. (ROFIQI HASAN)

3 comments:

Rofiqi Hasan said...

masak susah seh koment disini

Unknown said...

Bukan susah sih, cuma yang mau post comment mesti sign in dulu ke google account mereka, atau account lain yang dipakai blogspot (LiveJournal, WordPress, TypePad, AIM). Kalau nggak sign in, atau kalau nggak punya salah satu account tsb, jadi nggak bisa post comment. Kayaknya gitu deh.

Rofiqi Hasan said...

wo gitu ya...ok thanks..banyak yang kompalin soalnya..