Oct 20, 2010

Bedah Buku : Bali Benteng Terbuka 1995-2005:

 
 
Buku ini mencoba merangkai kembali tautan politik tradisional yang berbasis puri dengan gelombang demokrasi modern pascareformasi yang berada di ranah modern. Beberapa eksplanasi politik yang terkait genealogi di Bali sangat kental hal ini dapat ditunjukkan dengan bukti-bukti perolehan suara di kalangan legislatif. Di level eksekutif pun perimbangan jabatan untuk konstituennya juga menjadi rujukan politis untuk berbagi kekuasaan.
Roda reformasi yang bergulir secara nasional turut mewarnai percaturan politik, terutama kembalinya Partai Perjuangan Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang diketuai oleh Megwati Soekarno Putri yang mewarisi trah dan darah Bali memberi legitimasi kekuatan baru pada peta politik (baca: kekuasaan) di Bali. Hal ini terbukti sebagian besar kepala kabupaten dipegang oleh representasi PDIP, bahkan berlanjut pada pemilihan gubernur dan wakilnya, dominasi PDIP masih terlalu kuat bagi lawan politiknya.
 
Fenomena munculnya ajeg Bali juga menjadi sorotan yang cukup kritis oleh Prof. Henk. Analisisnya tidak hanya berdasarkan informasi surat kabar, majalah, atau opini masyarakat, tetapi Prof. Henk memverifikasikan informasi yang didapatnya dengan pihak penggagas ajeg Bali, yaitu Satria Narada. Memang ada asa dengan gerakan ajeg Bali tersebut, namun menurut penulis buku ini, bahwa untuk memproteksi diri secara berlebihan akan berdampak yang kurang baik bagi Bali yang berada di wilayah NKRI.
 
Bali membutuhkan dunia luar (wisatawan, modal, dan tenaga kerja murah), tetapi rakyat pulau ini merasa terancam oleh kekuatan luar (investor besar, dekadensi Barat, dan Islam). Henk Schulte Nordholt mencirikan Bali sebagai benteng terbuka, yang menerima pengaruh luar seraya berjuang melindungi diri darinya. Dalam buku ini, penulis mengupas bagaimana Reformasi di Indonesia telah memengaruhi hubungan kasta dan merombak hubungan kekuasaan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan desa. Sambil menyoroti peran geng-geng kriminal dan konflik kekerasan di tingkat lokal, Schulte Nordholt dalam karya ini juga mempertimbangkan janji yang ditawarkan demokrasi lokal.
 
Buku ini sangat relevan untuk diterbitkan kembali dalam versi bahasa Indonesia agar pembaca dari segala lapisan mengetahui bagaimana konstruksi peta dan dinamika politik lokal di Bali. Buku ini juga mengulas efek-efek desentralisasi dan demokratisasi terhadap perpolitikan Bali, serta meninjau peran yang dimainkan cendekiawan urban dalam memperkuat identitas Bali.
 
 
Tentang Penulis:
 
Henk Schulte Nordholt adalah Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di Universitas Erasmus Rotterdam. Ia belajar sejarah di Free University, Amsterdam dan lulus tahun 1980. Ia memperoleh gelar doktor dalam ilmu-ilmu sosial di universitas yang sama tahun 1988 dengan disertasi tentang sejarah sistem politik di Bali dan telah diterbitkan oleh KITLV Press tahun 1996 berjudul The Spell of power; A history of Balinese politics 1650–1940 (Versi terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Larasan dengan judul The Spell of power: Sejarah Politik Bali 1650–1940 [2006]).
 
Ia mengoordinir berbagai proyek penelitian yang melibatkan, baik peneliti Belanda maupun Indonesia , antara lain, dalam program Renegotiating boundaries: Access agency and identity in post-Soeharto Indonesia, Indonesia in transition, dan Rethinking Historiography Indonesia . Yang sudah dan sedang dikerjakan, yakni proyek Audio-visual (dokumenter) tentang kehidupan sehari-hari masyarakat di beberapa kota di Indonesia selama seratus tahun.
 
Kini beliau menjabat sebagai Kepala Penelitian di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde), Leiden .

No comments: