Buku
ini mencoba merangkai kembali tautan politik tradisional yang berbasis puri
dengan gelombang demokrasi modern pascareformasi yang berada di ranah modern.
Beberapa eksplanasi politik yang terkait genealogi di Bali sangat kental hal ini
dapat ditunjukkan dengan bukti-bukti perolehan suara di kalangan legislatif. Di
level eksekutif pun perimbangan jabatan untuk konstituennya juga menjadi rujukan
politis untuk berbagi kekuasaan.
Roda
reformasi yang bergulir secara nasional turut mewarnai percaturan politik,
terutama kembalinya Partai Perjuangan Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
yang diketuai oleh Megwati Soekarno Putri yang mewarisi trah dan darah Bali
memberi legitimasi kekuatan baru pada peta politik (baca: kekuasaan) di Bali.
Hal ini terbukti sebagian besar kepala kabupaten dipegang oleh representasi
PDIP, bahkan berlanjut pada pemilihan gubernur dan wakilnya, dominasi PDIP masih
terlalu kuat bagi lawan politiknya.
Fenomena
munculnya ajeg Bali juga menjadi sorotan yang cukup kritis oleh Prof. Henk.
Analisisnya tidak hanya berdasarkan informasi surat kabar, majalah, atau opini
masyarakat, tetapi Prof. Henk memverifikasikan informasi yang didapatnya dengan
pihak penggagas ajeg Bali, yaitu Satria Narada. Memang ada asa dengan gerakan
ajeg Bali tersebut, namun menurut penulis buku ini, bahwa untuk memproteksi diri
secara berlebihan akan berdampak yang kurang baik bagi Bali yang berada di
wilayah NKRI.
Bali
membutuhkan dunia luar (wisatawan, modal, dan tenaga kerja murah), tetapi rakyat
pulau ini merasa terancam oleh kekuatan luar (investor besar, dekadensi Barat,
dan Islam). Henk
Schulte Nordholt mencirikan Bali sebagai
benteng terbuka, yang menerima pengaruh luar seraya berjuang melindungi diri
darinya. Dalam buku ini, penulis mengupas bagaimana Reformasi di Indonesia telah
memengaruhi hubungan kasta dan merombak hubungan kekuasaan di tingkat provinsi,
kabupaten/kota, dan desa. Sambil
menyoroti peran geng-geng kriminal dan konflik kekerasan di tingkat lokal,
Schulte Nordholt dalam karya ini juga mempertimbangkan janji yang ditawarkan
demokrasi lokal.
Buku
ini sangat relevan untuk diterbitkan kembali dalam versi bahasa Indonesia agar
pembaca dari segala lapisan mengetahui bagaimana konstruksi peta dan dinamika
politik lokal di Bali. Buku ini juga mengulas efek-efek desentralisasi dan
demokratisasi terhadap perpolitikan Bali, serta meninjau peran yang dimainkan
cendekiawan urban dalam memperkuat identitas Bali.
Tentang
Penulis:
Henk
Schulte Nordholt
adalah
Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di Universitas Erasmus Rotterdam. Ia
belajar sejarah di Free University, Amsterdam dan lulus tahun 1980. Ia
memperoleh gelar doktor dalam ilmu-ilmu sosial di universitas yang sama tahun
1988 dengan disertasi tentang sejarah sistem politik di Bali dan telah
diterbitkan oleh KITLV Press tahun 1996 berjudul The Spell of power; A
history of Balinese politics 1650–1940 (Versi terjemahan bahasa Indonesia
diterbitkan oleh Pustaka Larasan dengan judul The Spell of power: Sejarah
Politik Bali 1650–1940 [2006]).
Ia
mengoordinir berbagai proyek penelitian yang melibatkan, baik peneliti
Belanda
maupun Indonesia , antara
lain, dalam program Renegotiating boundaries: Access agency and identity in
post-Soeharto
Indonesia,
Indonesia in
transition, dan Rethinking Historiography
Indonesia . Yang
sudah dan sedang dikerjakan, yakni proyek Audio-visual (dokumenter) tentang
kehidupan sehari-hari masyarakat di beberapa kota
di
Indonesia selama seratus
tahun.
Kini
beliau menjabat sebagai Kepala Penelitian di KITLV (Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde),
Leiden .
No comments:
Post a Comment