Oct 23, 2010

Sekolah bagi Anak2 Serpihan Surga



Mereka  berinsiatif mengajar baca tulis anak-anak  miskin penjaja buah. Anak-anak serpihan dari Bali,  "Surga Terakhir" .

Luh De Suryani, 28, sudah lama resah. Penulis lepas di sejumlah media ini selalu merasa trenyuh setiap kali anak-anak kecil menyunggi buah dan aneka jajanan di  kepala menjajakan dagangan ke rumahnya . Meski tak terlalu berselera, tetap saja ia membeli sebanyak mungkin. Sayangnya, mereka tetap tertutup dan susah didekati. "Saya ajak ngobrol jawabnya hanya satu dua kata," ujarnya.

Usut punya usut, anak-anak itu ternyata adalah anak-anak Bali dari Kabupaten  Karangasem di ujung timur pulau ini. Jumlahnya bukan hanya satu dua saja tetapi  mencapai ratusan orang. Mereka awalnya adalah anak-anak gelandangan yang berkeliaran di Denpasar di bawah pengawasan keluarganya. Belakangan, mereka dipekerjakan dengan dititipkan pada 'bos' yang memberi modal berupa buah dan  jajanan. Mereka yang jumlahnya sekitar250 anak setiap hari disebar untuk  berkeliling menyusuri pasar-pasar dan tempat keramaian lainnya.

Anak-anak itu sebagian besar berusia antara 7-12 tahun. Usia yang paling disukai
bos karena paling banyak menghasilkan uang. Di jalanan, keberadaan mereka paling
gampang memancing belas kasihan sehingga jajanan bisa ludes dan menghasilkan
uang hingga Rp 300 ribu. Keuntungan penjualan mereka bakal dipotong untuk biaya
hidup sehari-hari. Bagian terbesar dikirimkan si bos ke orang tuanya di kampung.
Di Denpasar mereka ditempatkan di mes kontrakan dengan kamar-kamar yang dihuni
4-5 anak.

Keinginan terbesar Luh De tentu membebaskan mereka dari kondisi itu. "Ironis di
Bali yang jadi surga dunia masih ada yang seperti ini," ujarnya yang menjadi
aktivis di LSM Sloka Institute. Tapi hal itu bukan soal mudah. Kemiskinan di
daerah asal membuat mereka itu menjadi gantungan hidup keluarga. Di sisi lain,
anak-anak itu pun belum memiliki alternatif yang lebih baik. Paling tidak,
kondisi mereka saat ini jauh lebih aman dari saat menjadi gelandangan tanpa satu
pun pihak yang melindungi.
Karena itu bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Bali dan
Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Bali muncul gagasan untuk mendekati
anak-anak itu lewat jalan pendidikan. Anak-anak itu seluruhnya memang mengalami
putus sekolah atau bahkan sama sekali tak mengenyam bangku. Karenanya, baca
tulis huruf pun tak dikuasai.

Ini pun ternyata bukan langkah yang mudah. Penolakan muncul dari si bos maupun
anak-anak itu sendiri. "Untuk apa baca tulis, khan tidak merubah keadaan,"
begitu rata-rata sikap mereka. Mereka juga sudah merasa lelah setelah seharian
bekerja di jalanan.

Hanya dengan pendekatan berkali-kali, akhirnya anak-anak itu mau menerima
mereka. Pelajaran dilakukan dua kali dalam seminggu dan pasti pada malam hari.
Lebih banyak diisi dengan permainan, menggambar dan cerita-cerita. Diselingi
pula dengan pemutaran film dan penampilan musik. "Sekolahnya agak liar dan hanya
dilangsungkan di beranda rumah," ujarnya. Uniknya, ketika diputar film “Laskar
Pelangi” anak-anak itu ngeloyor pergi. “Mungkin malas melihat nasib sendiri,”
kata Luh De.

Pelan-pelan anak-anak itu terpancing motivasinya dengan hal-hal yang praktis.
Misalnya, kegunaan baca tulis untuk mengirim SMS buat calon pacar. "Rata-rata
mereka punya HP tapi hanya untuk menelpon sehingga boros pulsa," ujarnya. Ada
pula yang jadi bersemangat karena ditakut-takuti bakal gampang kena tipu kalau
sedang membeli pulsa HP.

 Luh De bersama empat sahabatnya  yang berasal dari berbagai profesi seperti
Anik Leana, 23, petugas laboratorium, Intan Paramitha,22, mahasiswa Faklutas
Pertanian , Jayartaha, 24, dokter hewan dan Putu Astharini Dhita,22, mahasiswa
Sastra Inggris. Mereka menangani dua kelompok anak-anak yang jumlahnya mencapai
50 orang. Dia optimis, kegiatan ini akan makin berkembang dan melibatkan
anak-anak muda. Sebab, banyak sekali teman-temannya yang sudah menawarkan diri
menjadi relawan untuk menyumbangkan kemampuan mereka.
Dia membayangkan, kegiatan ini nantinya akan terintegrasi dan bukan sekedar
mengentaskan anak-anak dari buta huruf saja. Sekarang ini, dia sudah memulai
dengan menambahkan pelajaran mengenai alat-alat reproduksi bagi mereka yang
memasuki usia akil balik. "Di jalanan, mereka gampang sekali terjebak pergaukan
bebas," kata Luh De. Ada juga pelajaran bahasa Iggiris untuk sekadar menyapa
turis.

Bersama-sama teman-temannya, dia akan berusaha agar lebih banyak lagi
ketrampilan yang dimiliki anak-anak itu sehingga mereka bisa mempunyai pilihan
yang lebih baik. Paling tidak seperti kata Gede Adi (nama samaran), ia tak ingin
lagi menjadi seorang Gigolo. “Pokoknya sekarang belajar dulu,” ujarnya. Pria
muda 16 tahun yang berharap disukai teman-teman perempuannya ini setiap hari
bangun pukul 5 pagi dan baru pulang saat senja. Kepalanya harus ditindih
sedikitnya 10 kilogram aneka buah potong dan umbi-umbian hingga pukul 4 sore. Ia
percaya,suatu hari akan ada pekerjaan yang lebih baik baginya. ROFIQI HASAN

versi cetak tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 24 Oktober 2010. Klik di http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/10/24/index.shtml

No comments: