SAAT pagi masih
berkabut, Julia Robert bersemangat mengayuh sepeda anginnya. Ia yang berperan sebagai penulis novel
Elizabeth Gilbert melintasi sawah menghijau dengan para petani yang sibuk
menanam padi. Sejenak kemudian ia sudah sampai di depan rumah Ketut Liyer, sang
Balian (dukun-red) peramal. Di film
berjudul “Eat, Pray and Love” yang kini
sedang di putar di Bali itu, jalanan Ubud tampak lenggang dan leluasa.
Di dunia nyata, kondisinya bisa sangat berbeda. Kemacetan menjadi
hal rutin di sejumlah titik, khususnya
di depan Pasar Ubud. Keberadaan bus-bus besar pengangkut turis menjadi masalah. Belum lagi bila musim ritual di Pura
atas saat dilakukan upacara pengabenan.
Kondisi itu sangat disadari oleh Bupati Gianyar yang juga
tokoh Puri Ubud Tjok Oka AA Sukawati. “Ini harus segera diatasi. Apalagi sudah ada tanda-tanda film Julia
Robert bisa membuat kunjungan turis ke Ubud naik berlipat-lipat,” ujar pria
kelahiran 23 Agustus 1956 itu.
Ubud sendiri sebagai satu kecamatan adalah satu dari lima
zonasi khusus yang ditetapkan Pemerintah
Daerah Kabupaten Gianyar dalam
pengembangan tata ruangnya. Bersama
dengan sebagian wilayah Payangan dan Tegalalang termasuk dalam zona barat yang menjadi sentra
pariwisata budaya. Disini bertaburan fasilitas museum, galeri, restoran, art
shop disamping wisata alam Monkey Forest. Tetapi daya tarik utamanya adalah
pemandangan alam serta aktivitas adat budaya warganya.
Untuk pengembangan Ubud, Pemda sudah membeli tanah seluas 78
are guna pembangunan sentral parkir di
luar area wisata. Nantinya, bus-bus besar hanya akan berhenti di sentra parkir
itu dan bagi penumpangnya disediakan shuttle gratis. Penataan lain adalah
dengan pembangunan pasar baru untuk memindahkan pedagang di Pasar Ubud yang
sudah over kapasitas karena sudah mencapai 500 kios padahal kapasitasnya hanya
280 saja.
Fasilitas lain yang juga sangat dibutuhkan adalah jalan
lingkar di luar kawasan Ubud agar kendaraan yang tidak berkepentingan dengan
pariwisata tak perlu melintasi Ubud.
Misalnya, truk pengangkut pasir dan material lainya atau kendaraan yang menuju
kawasan lain. “Kami berharap pemerintah pusat mau membantu karena Ubud juga
jendela Indonesia,”kata tokoh yang akrab dipanggil Tjok Ace itu.
Selain zonasi barat , Pemda juga menetapkan zonasi lain
dengan prioritas pengembangan yang berbeda. Setiap zona juga saling memberikan
dukungan. Zona itu adalah zona utara
meliputi kecamatan Payangan utara, Tegalalang Utara dan Tampaksiring. Daerah ini dijadikan daerah konservasi air
dan agrowisata. Langkah yang sudah
dilakukan antara lain pengembangan pertanian organik dan pembukan lahan
pertanian yang baru.
Adapun zona lainnya adalah kawasan tengah yang mengacu pada
situs-situs kuno di tepi Sungai. Dimulai
di kawasan Bedulu yang memiliki Goa Gajah, Pura Tebing Gunung Kawi, hingga
situs di Tampaksiring. Selanjutnya
adalah zona timur yang menjadi pusat kota Gianyar dimana dikembangkan pusat
kuliner, sport centre dan fasilitas untuk pertunjukan seni kontemporer. Hal itu sesuai dengan karakter
darah perkotaan dimana warga kota, khususnya anak muda membutukan penyaluran energy
dan kreatifitasnya.
Zona yang kelima adalah zona selatan yang meliputi kawasan
Sukawati dan Blahbatuh. Daerah ini sudah
sejal lama sebagai pusat industri kerajinan serta pemasarannya. Pemda berusaha
merevitalisasi dengan penambahan pasar dan juga lahan parkir. Zona ini pun memiliki sejumlah pantai yang cocok
untuk daerah surfing . Namun prioritas utama adalah Pantai “Golden Monkey” yang
karakter ombaknya bisa menjadi ajang surfing di malam hari.
Pengembangan zonasi itu, jelas dia, mengacu pada prinsip
keseimbangan antara pertanian dan pariwisata. Pertanian harus dilindungi karena
merupakan basis kebudayaan Bali. “Karena itu terus saya subsidi agar petaninya
tidak menjual lahan dan beralih pekerjaan,” ujarnya. Di sisi lain pariwisata
adalah penghasil devisa terbesar yang punya potensi untuk berkembang.
Tantangan utama dalam pengembangan itu, menurut Tjok Ace,
adalah soal dana. Maklum saja Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru mencapai 131
Milyar pada tahun 2009. Meski sudah naik
sebesar 45 milyar dibadning tahun 2008, jumlah itu masih sangat sedikit
sehingga pihaknya melakukan sejumlah pengetatan. Misalnya, dengan tidak
mengangkat pegawai negeri baru pada
tahun 2010.
Hambatan lainnya adalah sikap masyarakat sendiri yang cenderung
apatis pada program pemerintah. Mereka
menganggap seluruh program pembangunan adalah kewajiban pemerintah. “Membersihkan
got di depan rumah pun mereka tak mau,” ujarnya. Untuk itu pihaknya selalu
mengajak warganya bermimpi dan mendapat gambaran yang kongkrit mengenai
programnya. Ketrampilannya sebagai arsitek mempermudah visualisasi proyek yang
dikerjakan. “Gambaran masa depannya bisa mereka lihat,” katanya.
Bagi warga Gianyar langkah-langkah yang sudah dilakukan itu
dinilai belum terlalu terasa. “Mungkin masih 3-5 lima tahun ke depan bisa
terlihat ,” kata Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Barisan Penerus Reformasi
Rakyat Gianyar Ngakan Ketut Putra.
Menurutnya, warga masih menunggu pada konsistensi Pemda dan pihak Legistatif
untuk mewujudkan hal itu.
Dia malah mengeluhkan, kurangnya ruang terbuka hijau di wilayah kota Gianyar. Sementara itu
jalan-jalan menuju kawasan wisata seringkali kurang perawatan sehingga banyak
ditemui lubang jalanan. Karena itu dia kurang setuju kalau penghargaan untuk
tata ruang terbaik diberikan kepada Gianyar atau pun Ubud pada saat ini. ROFIQI
HASAN
No comments:
Post a Comment