Oct 18, 2010

Agar Julia Robert Kembali ke Ubud



SAAT  pagi masih berkabut, Julia Robert bersemangat mengayuh sepeda anginnya.  Ia yang berperan sebagai penulis novel Elizabeth Gilbert melintasi sawah menghijau dengan para petani yang sibuk menanam padi. Sejenak kemudian ia sudah sampai di depan rumah Ketut Liyer, sang Balian (dukun-red) peramal.  Di film berjudul “Eat, Pray and Love” yang  kini sedang di putar di Bali itu, jalanan Ubud tampak lenggang dan leluasa.

 
Di dunia nyata, kondisinya bisa sangat berbeda. Kemacetan   menjadi hal rutin di sejumlah titik,  khususnya di depan Pasar Ubud. Keberadaan bus-bus besar pengangkut turis menjadi  masalah. Belum lagi bila musim ritual di Pura atas saat dilakukan upacara pengabenan.
Kondisi itu sangat disadari oleh Bupati Gianyar yang juga tokoh Puri Ubud Tjok Oka AA Sukawati. “Ini harus segera diatasi.  Apalagi sudah ada tanda-tanda film Julia Robert bisa membuat kunjungan turis ke Ubud naik berlipat-lipat,” ujar pria kelahiran 23 Agustus 1956 itu.
Ubud sendiri sebagai satu kecamatan adalah satu dari lima zonasi khusus  yang ditetapkan Pemerintah Daerah  Kabupaten Gianyar dalam pengembangan tata ruangnya.  Bersama dengan sebagian wilayah Payangan dan Tegalalang  termasuk dalam zona barat yang menjadi sentra pariwisata budaya. Disini bertaburan fasilitas museum, galeri, restoran, art shop disamping wisata alam Monkey Forest. Tetapi daya tarik utamanya adalah pemandangan alam serta aktivitas adat budaya warganya.
Untuk pengembangan Ubud, Pemda sudah membeli tanah seluas 78 are guna  pembangunan sentral parkir di luar area wisata. Nantinya, bus-bus besar hanya akan berhenti di sentra parkir itu dan bagi penumpangnya disediakan shuttle gratis. Penataan lain adalah dengan pembangunan pasar baru untuk memindahkan pedagang di Pasar Ubud yang sudah over kapasitas karena sudah mencapai 500 kios padahal kapasitasnya hanya 280 saja.
Fasilitas lain yang juga sangat dibutuhkan adalah jalan lingkar di luar kawasan Ubud agar kendaraan yang tidak berkepentingan dengan pariwisata tak  perlu melintasi Ubud. Misalnya, truk pengangkut pasir dan material lainya atau kendaraan yang menuju kawasan lain. “Kami berharap pemerintah pusat mau membantu karena Ubud juga jendela Indonesia,”kata tokoh yang akrab dipanggil Tjok Ace itu.    
Selain zonasi barat , Pemda juga menetapkan zonasi lain dengan prioritas pengembangan yang berbeda. Setiap zona juga saling memberikan dukungan. Zona itu adalah  zona utara meliputi kecamatan Payangan utara, Tegalalang Utara dan Tampaksiring.  Daerah ini dijadikan daerah konservasi air dan  agrowisata. Langkah yang sudah dilakukan antara lain pengembangan pertanian organik dan pembukan lahan pertanian yang baru.
Adapun zona lainnya adalah kawasan tengah yang mengacu pada situs-situs kuno di tepi Sungai.  Dimulai di kawasan Bedulu yang memiliki Goa Gajah, Pura Tebing Gunung Kawi, hingga situs di Tampaksiring.  Selanjutnya adalah zona timur yang menjadi pusat kota Gianyar dimana dikembangkan pusat kuliner, sport centre dan fasilitas untuk pertunjukan seni  kontemporer. Hal itu sesuai dengan karakter darah perkotaan dimana warga kota, khususnya anak muda membutukan penyaluran energy dan kreatifitasnya.
Zona yang kelima adalah zona selatan yang meliputi kawasan Sukawati dan Blahbatuh.  Daerah ini sudah sejal lama sebagai pusat industri kerajinan serta pemasarannya. Pemda berusaha merevitalisasi dengan penambahan pasar dan juga lahan parkir.  Zona ini pun memiliki sejumlah pantai yang cocok untuk daerah surfing . Namun prioritas utama adalah Pantai “Golden Monkey” yang karakter ombaknya bisa menjadi ajang surfing di malam hari.
Pengembangan zonasi itu, jelas dia, mengacu pada prinsip keseimbangan antara pertanian dan pariwisata. Pertanian harus dilindungi karena merupakan basis kebudayaan Bali. “Karena itu terus saya subsidi agar petaninya tidak menjual lahan dan beralih pekerjaan,” ujarnya. Di sisi lain pariwisata adalah penghasil devisa terbesar yang punya potensi untuk berkembang.
Tantangan utama dalam pengembangan itu, menurut Tjok Ace, adalah soal dana. Maklum saja Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru mencapai 131 Milyar pada tahun 2009.  Meski sudah naik sebesar 45 milyar dibadning tahun 2008, jumlah itu masih sangat sedikit sehingga pihaknya melakukan sejumlah pengetatan. Misalnya, dengan tidak mengangkat pegawai negeri  baru pada tahun 2010.
 Hambatan lainnya  adalah sikap masyarakat sendiri yang cenderung apatis pada program pemerintah.  Mereka menganggap seluruh program pembangunan adalah kewajiban pemerintah. “Membersihkan got di depan rumah pun mereka tak mau,” ujarnya. Untuk itu pihaknya selalu mengajak warganya bermimpi dan mendapat gambaran yang kongkrit mengenai programnya. Ketrampilannya sebagai arsitek mempermudah visualisasi proyek yang dikerjakan. “Gambaran masa depannya bisa mereka lihat,” katanya.
Bagi warga Gianyar langkah-langkah yang sudah dilakukan itu dinilai belum terlalu terasa. “Mungkin masih 3-5 lima tahun ke depan bisa terlihat ,” kata Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Barisan Penerus Reformasi Rakyat Gianyar Ngakan Ketut Putra.  Menurutnya, warga masih menunggu pada konsistensi Pemda dan pihak Legistatif untuk mewujudkan hal itu.
Dia malah mengeluhkan, kurangnya ruang terbuka hijau di  wilayah kota Gianyar. Sementara itu jalan-jalan menuju kawasan wisata seringkali kurang perawatan sehingga banyak ditemui lubang jalanan. Karena itu dia kurang setuju kalau penghargaan untuk tata ruang terbaik diberikan kepada Gianyar atau pun Ubud pada saat ini. ROFIQI HASAN

No comments: